Monday, October 1, 2012

Sebuah Telepon di Pagi Itu

Pagi itu aku sedang duduk serius di depan layar laptop. Bergumul dengan ribuan alfabet yang menari-nari di antara tulisan yang harus kuedit. Pekerjaan editor, sebut saja begitu. Sebuah amanah dadakan dari komunitas dakwah yang kuikuti ini membuatku harus berpusing-pusing dengan puluhan tulisan yang dikirim ke redaksi. Penat? Wajar saja, tapi apalah artinya kepenatan menjalankan suatu amanah dakwah jika dibarengi dengan rasa ikhlas dan cinta? Ceileh.
Tiba-tiba telepon rumah berdering.
Bu, anaknya jatuh di sekolah. Anaknya jatuh, Bu…” Sebuah suara berbalut kepanikan seperti menahan tangis terdengar dari seberang telepon.
Siapa, Bu? Ini dari mana? balasku pada wanita yang dari suaranya kutebak berusia mendekati kepala empat.
Iya, Bu anak Ibu jatuh di sekolah, tadi kesenggol temennya. Kondisinya kritis, ia tak menjawab pertanyaanku.
Sebentar, maksud Ibu siapa yang jatuh? Maaf, Ibu ini siapa? Aku mencoba mengontrol diri.
Anaknya, Bu.. anaknya jatuh! Ini dengan siapanya?
Siapa yang jatuh? Aku mulai terbawa suasana, Ron maksud Ibu? K*School?
Entah kenapa hanya nama itu yang terlintas di pikiran. Adik lelakiku yang bungsu. Entah hanya nama ia yang terpikirkan. Alasan pertama, mungkin karena ialah adik satu-satunya yang bersekolah di boarding school. Rasa kangen padanya yang menuntunku untuk merujuk pada namanya. Alasan kedua, dua adikku yang lainnya sudah duduk di bangku SMA. Jadi agak lucu saja kalau ada acara gojek sampai dorong-dorongan dan terjatuh hingga kritis meskipun itu mungkin saja terjadi.
Iya, Ron anak Ibu yang sekolah di K*School? suara paraunya benar-benar membuatku percaya dengan kebenaran berita itu. Ini dengan ibunya Ron?
Bukan, saya kakaknya Ron. Lalu bagaimana keadaan adik saya, Bu?
Sudah pokoknya Mbak sekarang hubungi nomor gurunya, cepet Mbak catet! Wanita setengah baya yang bodohnya kuduga adalah wali murid K*School memberi instruksi. Telepon ditutup.
Assalamualaikum…” sapa sebuah suara dari seberang telepon. Seorang wanita.
Waalaikumussalam. Maaf apa benar ini gurunya Ron? Saya kakaknya. Perasaan kacau menuntunku untuk menghubungi nomor telepon guru K*School yang diberikan oleh wanita penelepon tadi.
Ooohh iyaa Mbaakkk huhuhuhu adik Mbak tadi jatuh di sekolah. Kepalanya Mbak kepalanya kebentur tembok…” Aku hanya bisa diam mendengar penuturannya. Menelan ludah.
Lalu keadaan adik saya gimana?
Sekarang adik Mbak sudah dibawa ke RSUP dr. Sardjito dan ditangani Dokter Zaenal. Ini saya kasih nomernya, tolong dicatet. Lagi-lagi aku diinstruksikan untuk menghubungi nomer lain.
Hubungi dokter itu segera, Mbak. Adik Mbak, huhuhuu adik Mbak mengalami pendarahan hebat.
Iya Bu, terima kasih.
Segera kututup telepon. Kalut. Kupencet kembali tombol-tombol angka di pesawat telepon.
Waaannn!!! Cepet ke sinii!! sambil menunggu panggilan tersambung, kuteriaki Wan yang saat itu sedang asyik menyirami rerumputan di halaman belakang rumah. Pagi itu hanya ada kami berdua di rumah. Aku dan adik lelakiku yang paling besar.
Ron jatuh.
Tulisku di secarik kertas yang lantas kuperlihatkan pada Wan, bersamaan dengan terdengarnya sebuah suara dari speaker telepon.
Waalaikumussalam, apa benar ini dengan Dokter Zaenal? Saya kakaknya Ron.
Iya benar.
Adik saya gimana, Dok? Bagaimana keadaannya?
Begini ya Mbak, Mbak tenang dulu…” Sejenak ia menghela napas. Oke, sekali lagi Mbak tolong tenang.
Iya, Dok. Saya tenang kok! Gerutuku dalam hati.
Adik Mbak masuk UGD, keadaannya kritis. Pendarahan. Benturan keras di kepalanya menyebabkan saraf konektor di otaknya terputus. Sendi-sendiku lemas seketika mendengar penuturannya. Meski aku tak tahu pasti apa akibat dari terputusnya saraf yang dimaksud, tapi pernyataan itu sudah cukup membuatku yakin bahwa its a very bad news!
Terputusnya saraf penghubung antara otak besar dan otak kecil pada adik menyebabkan suplai oksigen terputus pula, lanjutnya. Tuh kan bener, itu berita buruk.
Tapi Mbak jangan khawatir, alhamdulillah, apotek KF mempunyai alat sementara untuk dipasang di kepala adik. Nama alatnya adalah OXB. Pihak rumah sakit sudah menghubungi ke sana. Tapi pihak apotek tidak mau mengeluarkan alat tersebut tanpa persetujuan keluarga pasien, jelasnya dengan kesan tergesa. Jadi, tolong Mbak segera hubungi pihak apotek agar mereka mau mengirim alat tersebut ke rumah sakit.
081228634632. Kucatat segera nomor kontak apotek yang diberikan oleh Dokter Zaenal.
Nanti bilang saja dari Dokter Zaenal. Jangan lupa OXB! Nama alatnya jangan sampai salah. Segera hubungi pihak KF sekarang juga, demi adik Mbak…” katanya pilu.
Astaghfirullah, ya Rabb kuatkan aku.
Seperti sebelum-sebelumnya, salam sakral terdengar dari seberang telepon.
Dengan apotek KF? Saya kakak dari pasien Ron. Saya diminta oleh Dokter Zaenal dari RSUP dr. Sardjito untuk menghubungi apotek bla bla bla…”
Iya Mbak, ini alatnya sudah kami siapkan. Tapi begini, Mbak…”
Tapi apa, Pak?
Alat tersebut harganya sangat mahal. Oleh karena itu kami tidak berani mengeluarkan alat itu tanpa adanya pembayaran terlebih dahulu. Harganya Rp 9.750.000,00, gimana Mbak? jelasnya, tapi harga itu tentunya bukan apa-apa dibandingkan dengan keselamatan adik, bukan?
Berapapun saya bayar, yang penting adik saya tolong segera ditangani! Begitu gampangnya aku berkata demikian, tapi duit dari mana?
Ya sudah, ya sudah begini saja, Mbak. Kalau menunggu transaksi pasti akan lama. Saat ini juga saya akan meluncur ke rumah sakit, sementara Mbak transfer saja uangnya ke rekening bendahara KF atas nama Rety.
Bapak itu menyebutkan nomor rekening BRI dan Bank Mandiri. Diulang-ulang, agar aku tak salah mencatatnya.
Ini saya segera meluncur ke rumah sakit. Mbak segera urus pembayaran. Mbak sekarang di mana?
Saya masih di rumah, Pak. Saya segera siap-siap ke rumah sakit.
Jangan! potongnya. Urusan di rumah sakit belakangan saja. Yang penting pembayaran diurus dulu. Ke rumah sakit tak apa terlambat, tapi jangan sampai pembayaran terlambat!
Seenaknya saja ia bilang begitu.
Iya Pak, iya! Segera saya urus.
Aku beranjak dari pesawat telepon. Kucoba menata kembali hati yang kacau.
Wan, nggak usah kuliah ya? Kita ke rumah sakit, sekarang.
Iya, jawabnya spontan. Kulihat Wan sudah siap dengan pakaian bepergian. Tampaknya ia sudah bisa membaca atmosfer kepanikanku.
Tapi…”
Kenapa, Na? Seperti adik-adikku yang lain, ia biasa memanggil tanpa embel-embel mbak di depannya.
Ini tadi disuruh transfer duit. Sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Tapi aku nggak punya uang sebanyak itu. Gimana nih…”
Ah!
Ah kalo gitu aku telepon Om Ge aja, siapa tau bisa minta tolong, ujarku kemudian. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan nyawa Ron. Kalau gitu aku telepon Om Ge, Wan tolong siapin motor.
Sesaat kemudian, aku sudah berada dalam pembicaraan di telepon dengan Om. Tapi beliau malah menyarankanku untuk menghubungi Pakde.
Astaghfirullah, kenapa aku nggak kepikiran? Pakde kan dokter di RSUP dr. Sardjito? Duh, bodohnya aku.
Oke, Pakde akan segera cek ke UGD. Tapi uangnya jangan ditransfer dulu, jangan ditransfer! ujarnya setelah kujelaskan semuanya melalui telepon.
Tapi Pakde…”
Pokoknya jangan! Aku pun menurut saja.
Adikku sudah siap dengan sepeda motornya. Tapi aku masih saja kepikiran dengan nominal yang diminta. Dapat uang darimana? Bahkan bila uangku dan Wan yang tersimpan di rekening bank digabungkan, jumlahnya jauh dari cukup. Bapak sedang keluar negeri, jadi jelas-jelas beliau nggak bisa dihubungi. Sementara ibu, beliau sedang ada urusan di kota, tapi ponselnya ketinggalan di rumah. Ya Allah
Belum lagi meninggalkan rumah, sebuah nomor tak dikenal masuk ke ponselku.
081228634632. Ah, nomor apotek itu.
Kini mereka menghubungi nomor ponselku. Tadi memang, sesaat sebelum menutup pembicaraan, mereka meminta nomorku.
Sudah ditransfer, Mbak?
Belum, Pak! ketusku, ini saya baru mau berangkat! Nanti saya hubungi lagi!
Semua persiapan beres. Buku rekening, kartu ATM, dompet, dan juga mushaf kecil. Aku berencana membaca ayat-ayat suci-Nya sembari menunggui si Adik di rumah sakit. Tak lupa kutempelkan sebuah memo di pintu rumah, berharap ibu membacanya saat pulang nanti.
Bu, cepet telepon aku. Ron masuk UGD RSUP dr. Sardjito. Ponsel Ibu kubawa. Na
Segera aku diboncengi Wan dengan sepeda motornya, melesat ke rumah sakit.

---

Di sepanjang jalan kucoba menahan diri agar tidak menangis. Aku hanya bisa memperbanyak zikir pada-Nya. Berdoa, memohon belas kasih. Memohon agar Ia menyelamatkan nyawa adik bungsuku. Sungguh aku belum siap kehilangan ia.
Ponselku kembali berdering. Ah nomor Bapak dari apotek itu lagi. Tak bisakah ia menunggu? Ini sudah kesekian kalinya ia menelepon tapi tak kugubris.
Gimana, Mbak?
Saya masih di jalan. Begini saja, Pak. Bapak sudah di rumah sakit kan? Kalau begitu tolong Bapak temui saja Pakde saya. Namanya Pak Sam, dokter di Sardjito. Masalah pembayaran nanti dibicarakan saja dengan beliau.
Ini bukan masalah Pakde dokter atau bukan. Yang jadi masalah, alatnya nggak bisa dipasang kalau uangnya belum ditransfer bla bla…”
Sambungan kuputus. Aku kesal dibuatnya. Namun ia kembali menelepon.
Saya masih di jalan, Pak! Rumah saya jauh!! bentakku. Aku tak mau bilang bapak itu kalau aku sengaja tidak ke bank. Tujuanku hanya satu. Rumah sakit.
Emangnya nggak ada ATM di dekat rumah? balasnya membentak. Kututup telepon.
Kenapa alatnya belum juga dipasang? Waktu sudah berlalu setengah jam sejak telepon pertama mengabarkan kecelakaan itu. Tega benar menelantarkan adikku hanya karena uang belum ditransfer. Rutukku dalam hati.

---

RSUP dr. Sardjito. Di depan UGD, aku langsung melompat turun dari motor, sementara Wan mencari tempat parkir.
Maaf, Pak. Apa benar adik saya masuk UGD? Saya dihubungi pihak sekolahnya bahwa ia kecelakaan, ujarku cepat-cepat pada petugas di bagian informasi.
Atas nama siapa?
Lantas kusebutkan nama panjang Ron.
Maaf, Mbak. Di sini tidak ada pasien dengan nama seperti itu.
Tapi Pak…” perasaanku campur aduk antara bingung dan marah.
Mbak masuk saja ke dalam, katanya dengan tenang sambil menunjuk pada pintu UGD.
Di dalam ruang UGD, segera kuhampiri bagian resepsionis. Menanyakan kembali pasien atas nama adikku.
Tidak ada pasien atas nama itu di sini…” ujar petugas.
Aku hanya diam, tak bisa berkata-kata. Bingung. Meski aku sebenarnya mulai sadar bahwa ini penipuan. Tapi tetap saja, aku belum bisa percaya sepenuhnya. Melihatku yang kebingungan, seorang perawat laki-laki datang mendekat sambil membawa sebuah buku di tangannya.
Mbak tenang dulu, ya…” katanya. Begini, di rumah sakit ini tidak ada yang namanya pembayaran di awal seperti yang Mbak bilang. Jadi coba Mbak hubungi pihak sekolah dulu. Apakah sudah dihubungi?
Aku mengangguk.
 Tapi, saya dapat nomornya sekolah dari penelepon pertama. Dapet nomor dokter dan apotek pun juga dari penelepon sebelumnya. Duh! Aku menepuk dahi, semakin menyadari kecerobohanku.
Perawat itu lantas melirik kertas yang kugenggam di tangan kanan. Spontan kutunjukkan padanya kertas catatan berisi nama dokter, nama alat seharga jutaan itu, nama bendahara apotek KF beserta nomor rekening, dan juga nomor-nomor yang sedari tadi terlibat. Ia hanya mengelus dagunya sambil mengangguk-angguk.
Nama Mbak dan adik siapa? tanyanya hendak mencatatkan namaku pada buku yang sedari tadi ia bawa. Tanpa diberi tahu pun aku sudah bisa menebak kalau itu pasti buku pengaduan. Buku yang berisi nama-nama pihak yang mengalami penipuan sama sepertiku.
Selamat pagi, Dok! sapa perawat itu pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari dalam ruangan.
Gimana? tanya sebuah suara yang kukenal. Segera kutolehkan kepala. Pakde.
Nggak ada tuh yang namanya transfer-transferan di muka, nggak ada itu pasti penipuan, jelas Pakde. Dari dokter siapa katanya? Coba ditelepon lagi.
Tanpa membantah, segera kutelepon bapak yang mengaku dari apotek KF. Namun aku membuat kesalahan kecil. Aku salah mengambil ponsel. Ponsel yang tadi kugunakan untuk berkomunikasi dengan apotek bukanlah yang sekarang aku gunakan, tetapi ponsel yang satu lagi.
Halo…” sapa suara di seberang yang entah terasa beda dari suara sebelum-sebelumnya. Nah lho, ketahuan bohongnya. Segera kuserahkan ponselku pada Pakde. Pakde pun terlibat pembicaraan dengan orang di ujung telepon sana.
Teleponnya diputus, kata Pakde. Dia cuma nyebutin nama Dokter Hendra gitu.
Dokter Hendra? Bukannya tadi dibilang Dokter Zaenal?
Nah sekarang coba gantian hubungi pihak sekolah, si Perawat memberi saran.
Aku yang tidak menyimpan kontak pihak sekolah K*School segera merogoh ponsel ibu yang dari dalam tas. Kutelusuri kontak ponsel untuk mencari nomor sekolah. Ketemu!
Aku pun menghubungi guru pembina adikku. Begitu tersambung dengan beliau, lantas aku mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut.
Wah Mbak, Ron baik-baik saja. Dari tadi dia di kelas kok, tuh dia duduk di depan sendiri, penjelasan itu begitu melegakan.
Menurut penuturan beliau, sudah banyak orang tua murid K*School yang menjadi korban sama sepertiku. Astaghfirullah, jahat sekali pelakunya.
Huff, Alhamdulillah tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tak ada lagi yang perlu diklarifikasi. Setelah mengucapkan terima kasih pada pihak rumah sakit dan Pakde, aku segera beranjak keluar. Hey, ini si Wan kemana sih kok nggak nongol-nongol dari tadi?
Begitu meninggalkan UGD, aku melihat Wan datang dari arah kejauhan. Segera kuberlari menghampirinya dengan wajah berseri-seri.
Ayo pulaang! kugenggam lengannya kuat-kuat, menahan rasa gembira bercampur malu. Sementara tanganku yang satunya mengetik sebuah SMS.
I love youuu :*
Im glad youre save
Message sent to Ron.

---

Sesampainya di rumah untung saja ibu belum pulang. Tak bisa kubayangkan betapa paniknya ibu membaca memo dariku. Aku pun bersyukur Bapak sedang di luar negeri. Kalau tidak, aku pasti sudah memintanya mentransfer uang itu.
Tak berhenti sampai di situ, aku bersyukur karena uang yang aku ataupun Wan miliki tidak banyak sehingga kami tidak gegabah mentransfer uang yang diminta. Dan yang pasti, aku teramat sangat bersyukur karena ini hanyalah penipuan. Aku tak bisa bayangkan betapa teriris-irisnya hati ini jika ternyata berita bohong tentang Ron adalah kebenaran.
Allahu akbar!!

Meina Fathimah
Rabu, 26 September 2012
Ketika rasa syukur ini tak habis terucap


Pesan penulis :
Waspadalah bahaya penipuan modus baru! Always be on your guard!
Maaf, hanya satu dari empat nomor yang tercatat. Nomor lainnya beserta nomor rekening dan juga nama-nama pelaku hilang bersama dengan kertas memo yang ketinggalan di rumah sakit. Kertasnya lupa untuk kuminta kembali dari petugas UGD RSUP dr. Sardjito T.T
Sebenarnya sejak awal sudah banyak kejanggalan. Mulai dari penelepon pertama, kenapa bukan gurunya sendiri yang menghubungiku? Lalu nomor apotek yang menggunakan nomor ponsel, kenapa bukan nomor pesawat telepon? Lalu logat dari keempat pelaku mempunyai kemiripan, kalau bisa kubilang, semuanya berlogat orang luar Jawa. Lalu nama dokter yang disebutkan kenapa bisa berbeda? Trus juga, emangnya apotek jualan alat yak? Emang bener begitu atau akunya yang nggak tahu? Haha
Tuh kan, banyak banget kejanggalannya kejanggalan yang sebenarnya sudah kusadari sejak awal. Tapi siapa sih yang nggak panik mendengar musibah menimpa keluarganya? Dasar wanita, kepanikan ternyata mengalahkan akal sehatku. Haha, ya sudahlah, yang penting semuanya happy ending. Alhamdulillah semoga bisa jadi pelajaran bagi kita semua


Wednesday, May 23, 2012

Paatii de (Di Pesta)


Paatii de

Satomi : ”Aa, Maki san, assalamu’alaikum, konnichiwa.”
Maki    : ”Aa, wa’alaikumussalam Satomi san, ogenki desu ka.”
Satomi : ”Hai, genki desu. Anata wa hitori de paatii e ikimasu ka.”
Maki    : ”Iie, tomodachi to paatii e ikimasu. Soko no tsukue no chikaku no iru hito wa watashi no tomodachi desu.”
Satomi : ”Aa, sou desu ka.”
Maki    : “Anata wa dare to ikimasu ka.”
Satomi : “Watashi wa hitori de ikimasu.”
Maki    : “Sou desu ne.”
Satomi : “Aa, mite kudasai. Shiroi shatsu no onna wa kawaii desu yo ne.”
Maki    : “Ee. Kanojo wa Haruka san desu. Haruka san wa tomodachi no okusan desu. Yamato san no desu. Yamato san wa Haruka san no tonari ni imasu.”
Satomi : “Anoo, sono onna mo tomodachi desu ka.”
Maki    : “Hai, sou desu. Namae wa Rika san desu.”
Satomi : “Rika san wa se ga takai desu ne.”
Maki    : “Hai, takai desu. Demo, Mia san wa Rika san yori takai desu yo.”
Satomi : “Mia san wa dare desu ka.”
Maki    : “Mia san wa Rika san no ushiro no onna desu. Aoi shatsu no onna desu. Mia san wa Rika san imouto desu. Karera wa kodomo kara no tomodachi desu.”
Satomi : “Aa, sou desu ka. Rika san to Mia san wa donna hito desu ka.”
Maki    : “Sou desu ne. Rika san to Mia san wa shinsetsu na hito desu. Demo, Mia san wa Rika san yori motto motto shinsetsu desu. Soshite Mia san wa Rika san yori genki de, urusai desu.”
Satomi : “Rika san wa muguchi na hito desu ka.”
Maki    : “Hai, sou desu. Rika san wa taihen kinben de, rikoo na hito desu. Rika san wa yawarakai desu ga, Mia san wa atama ga katai desu.”
Satomi : “Tokoro de, nomimono wa doko ni arimasu ka. Watashi wa nodo ga kawakimashita.”
Maki    : “Sou desu ne. Aa, nomimono wa asoko no tsukue ni arimasu.”
Satomi : ”Ja, soko e ikimashou.”
Maki    : ”Hai, ikimashou.”
Satomi : ”Aa, kore wa juusu desu. Mikan no juusu wa dou desu ka.”
Maki    : ”Hai, doumo. Itadakimasu.”
            ”Aa....”
Satomi : ”Dou shimashita ka. Anata wa mikan no juusu ga suki dewa arimasen ka.”
Maki    : ”Iie, taihen suki desu ga. Kono juusu wa suppai desu kara, watashi wa chotto....”
Satomi : ”Sou desu ne.”
            ”Hai, douzo. Kore wa ice cream desu yo. Taihen amakutte oishii desu.”
Maki    : ”Aa, arigatou..”
            ”Aa, oishii.. Gochisu sama deshita.”
            ”Anoo, Satomi san, anata wa kamera ga arimasu ka.”
Satomi : ”Hai, arimasu. Kore desu. Doushite desu ka.”
Maki    : ”Issho ni shashin o torimasen ka.”
Satomi : ”Ee, torimashou.”

---

Di Pesta

Satomi : ”Aa, assalamu’alaikum, selamat siang Maki.”
Maki    : ”Aa, Satomi wa’alaikumussalam, gimana kabarnya?”
Satomi : ”Baik. Kamu pergi ke pesta sendirian?”
Maki    : ”Enggak, aku pergi ke pesta sama temen. Orang yang ada di deket meja di sana itu temenku..”
Satomi : ”Oh..”
Maki    : “Kamu pergi sama siapa?”
Satomi : “Aku perginya sendiri.”
Maki    : “Hm, gitu ya..”
Satomi : “Eh liat! Perempuan yang pake baju putih itu imut ya?”
Maki    : “Iya, dia itu Haruka. Haruka itu istrinya temenku. Istrinya Yamato. Nah Yamato itu yang ada di sebelahnya Haruka.”
Satomi : “Kalo perempuan yang itu temenmu juga kah?”
Maki    : “Iya bener. Namanya Rika.”
Satomi : “Badannya Rika tinggi ya..”
Maki    : “Yup, tapi Mia lebih tinggi daripada Rika lho..”
Satomi : “Mia itu siapa?”
Maki    : “Mia itu perempuan yang ada di belakangnya Rika. Perempuan yang pake baju biru. Mia itu adik perempuannya Rika. Mereka itu temenku sejak kecil.”
Satomi : “Iyakah? Rika dan Mia itu orangnya kayak gimana?”
Maki    : “Hm gimana ya.. Rika dan Mia itu orang yang ramah. Tapi Mia lebih ramah daripada Rika. Selain itu Mia lebih lincah dan lebih rame.”

Satomi : “Rika itu pendiam ya?”
Maki    : “Yupz. Rika itu orang yang sangat rajin dan cerdas. Rika itu orangnya lembut, kalo Mia orang yang keras kepala.”
Satomi : “Eh ngomong-ngomong minuman ada dimana ya? Aku haus..”
Maki    : “Hm.. Ah, minuman ada di meja sana!”
Satomi : ”Oke, ke sana yuk!”
Maki    : ”Yuk!”
Satomi : ”Aa, ini jus! Mau jus jeruk?”
Maki    : ”Makasih. Bismillah..”
            ”Aa....”
Satomi : ”Ada apa? Kamu nggak suka jus jeruk?”
Maki    : ”Suka banget kok. Cuma jus ini kecut, jadinya aku agak gimanaa gitu..”
Satomi : ”Oh gitu.”
            ”Nih, es krim aja. Manis dan enak banget!”
Maki    : ”Aa, makasih..”
            ”Mmm, enak.. alhamdulillah..”
            ”Btw kamu punya kamera nggak?”
Satomi : ”Ada, nih.. emang kenapa?”
Maki    : ”Mau foto bareng nggak?”
Satomi : ”Ayuk!”


Shukudai- nisen juu ni nen gogatsu juu nana
PR- 17 Mei 2012

Meina Fathimah


Monday, March 26, 2012

UHIBBUKI FILLAH, YAA UMMI..

“Ibu.. sedang apa sih?” sapaku pada suatu siang. Kulihat Ibu asyik melakukan sesuatu di dapur.


“Ini Ibu sedang mengupas rambutan..” jawabnya tersenyum.


“Astaghfirullah Bu.. kurang kerjaan banget sih?” kataku manyun berlagak memarahi Ibu. Ia hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.


“Bu, kenapa sih Ibu mau repot-repot melakukan hal yang tidak perlu Ibu lakukan?” protesku kembali. Ya, Ibu memang suka sekali merepotkan diri dengan mengupas buah-buahan untuk kami sekeluarga. Rambutan, mangga, pepaya, dan lain-lain. Yang kemudian dipotong-potong dan ditempatkan di wadah. Siap disantap.


Tak hanya itu, sarapan pun selalu Ibu yang menyiapkan untuk kami. Kenapa sih Ibu mau capek-capek? Toh kami juga bisa mengurus diri sendiri, pikirku. Dan ketika kutanyakan hal itu padanya, ia menjawab, “Inilah bahagianya menjadi seorang ibu. Rasa capek tidak ada apa-apanya jika melihat suami dan anak-anak senang. Besok saat Mei menjadi seorang ibu, Mei akan merasakan sendiri kenikmatannya.”


Sekali lagi aku hanya manyun mendengar jawabannya.


[[]]


Di mataku, Ibu adalah seorang wanita perkasa. Wanita hebat. Sosok idolaku. Siapa sangka jika masa lalunya bisa dikatakan 180 derajat?

Ibu berasal dari keluarga kaya yang tidak terbiasa mengurus rumah tangga sendiri karena parakhadimat (pembantu) senantiasa melayani keperluan sehari-hari. Selepas kuliah, Ibu sukses dengan karirnya sebagai seorang dokter gigi. Meskipun pada akhirnya, demi menjalankan tugas mulia sebagai seorang ibu, ia rela meninggalkan profesi yang sangat dibanggakannya itu. Ibu terpaksa harus mengorbankan karirnya demi mengabdikan diri mendidik kelima putra-putrinya. Namun ia ikhlas.


Di rumah sederhana kami, tidak ada khadimat. Otomatis pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga. Bertujuh. Ayah, Ibu, aku, dan keempat adikku. Masing-masing dari kami mendapatkan pembagian tugas. Aku kebagian mencuci baju, adikku yang paling besar kebagian jatah membuang sampah, adikku yang lebih kecil kebagian jatah mengurusi dapur, dan lain-lain. Namun sering kali kami mangkir dari tugas yang telah ditetapkan. Apabila kami lalai, Ibu bukannya memarahi kami, sebaliknya justru mengambil alih tugas.


“Ibu nih lho, mbok sekali-kali tegas sama anak-anak Ibu. Kalau ada yang mangkir dari tugas tuh mbokya dimarahin kek atau gimana?” tegurku.


“Ah marah-marah bikin capek, mending Ibu kerjakan sendiri.”


Ibu yang ketika muda dulu adalah anak manja yang tak bisa apa-apa, kini menjelma menjadi wanita super bagi suami dan anak-anaknya. Ibu tak pernah berpangku tangan. Segala keperluan keluarga, Ibu kerjakan sendiri. Tak peduli meski harus bolak-balik mengurus ini dan itu dari satu tempat ke tempat yang lain.


Mbok minta tolong sama aku tho Bu, kan aku bisa bantuin. Bapak dan adik-adik juga bisa kan dimintain tolong? Kan nggak harus Ibu yang mengerjakan semuanya?”


“Nggak ah, kalau Ibu bisa kerjakan sendiri akan Ibu kerjakan sendiri. Toh Ibu masih sehat wal’afiat. Kalau Ibu sakit, barulah Ibu minta tolong..” jawabnya.


Ah.. Ibu terlalu baik, terlalu banyak mengalah, terlalu banyak berkorban untuk kami. Bahkan menurutku, Ibu terlalu mengurusi hal-hal remeh. Terlalu ambil pusing. Sebagai contoh lain, ia tidak mau tidur kalau masih ada anaknya yang belum pulang hingga larut. Kadang aku sampai memarahinya.


Mbok udah tho, Ibu tidur saja. Biar Mei yang nungguin adik pulang..” bujukku.


“Nggak ah, Ibu nggak bisa tenang kalau ada anak Ibu yang belum pulang..”


Dalam urusan makanan pun, Ibu selalu mendahulukan suami dan anak-anaknya. Ia rela mendapatkan sisa, bahkan jika tidak kebagian sekalipun tidak menjadi masalah baginya.


“Ah waktu muda dulu, Ibu udah terlalu sering makan enak. Udah cukup lah..” kata Ibu beralasan.


“Udah makan aja, Ibu malas makan. Sudah kenyang..” kata Ibu di kesempatan lain.


[[]]


Perjalananku menjadi seorang ibu mungkin masih jauh. Namun telah banyak pelajaran yang aku dapatkan dari Ibuku tercinta. Padaku ia berpesan bahwa seorang ibu itu haruslah serba bisa.Supermom. Darinya aku belajar tegar dan mandiri. Dari ia pulalah aku belajar mengalah, sabar, ikhlas, dan rela berkorban.


Ya Allah, aku sayang Ibuku. Tolong sayangilah Ibu seperti ia menyayangiku sedari kecil. Lindungilah ia dengan kasih sayang-Mu. Jagalah ia dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Aamiin..


Uhibbuki fillah, yaa Ummi..



Yogyakarta, 19 Desember 2011

Meidwinna Vania Michiani

(Meina Fathimah)

http://www.meidwinna.blogspot.com


*Cerita ini dalam rangka mengikuti kisah pendek The Great Power of Mother Pro-U Media

http://www.facebook.com/proumedia


Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

(Puji syukur kehadirat Allah yang masih memberikan nikmat iman dan Islam pada diri ini..)

Selamat datang di blogku yang mungkin hanya berisi secuil pemikiran dan ungkapan isi hati...

Sungguh, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Adapun kesalahan datangnya murni dari diri ini. Untuk itu mohon masukan, kritik, dan sarannya serta mohon dimaafkan atas segala kesalahan. Terima kasih. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan membawa berkah. Amin

(Mulakanlah dengan membaca Basmalah.... dan akhirilah dengan Hamdalah..)