Tuesday, July 23, 2013

Kuper


Pernahkah kalian ngerasa jadi orang paling kuper?
Aku pernah. Nggak kuper-kuper amat sih sebenarnya, tapi seenggaknya ngerasa “cukup” kuper. Kisah itu terjadi beberapa tahun silam, sekitar permulaan aku bergabung di dakwah kampus.

---

Awal bergabung dengan dakwah kampus, kurasakan benar adanya perbedaan level “otak” yang sangat besar. Gimana enggak? Di sana sini kutemui percakapan high class ala aktivis dakwah kampus yang benar-benar nggak kumengerti. Aku, yang masih baru di dakwah kampus kala itu, seolah menjadi anak kuper. Paling bodoh dan serba nggak tahu apa-apa.

“Apa tujuan dakwah kita?” Sebuah pertanyaan retoris dilontarkan sang pimpinan mengawali suatu rapat sore hari itu.

Memang apa sih tujuan dakwah? Tanyaku dalam hati.

“Sudahkah kita bermimpi akan seperti apakah kultur kampus yang ideal? Sudahkah pula kita menyusun rencana jangka panjang 10 tahun ke depan?” lanjutnya.

Mimpi sepuluh tahun ke depan? Mimpi satu tahun ke depan aja aku belum yakin. Yang realistis aja deh....

“Jangan memandang sebelah mata pada kekuatan mimpi. Seorang pemimpi akan selalu mempunyai cita-cita yang besar, sedangkan seseorang yang hanya memandang realita adalah seorang pesimis!”

Jleb! Kata-kata itu seolah ditujukan kepadaku.

“Untuk itulah kita di sini, bersama-sama merumuskan sebuah grand design untuk kampus yang islami. Oke, sekarang kita mulai dengan analisis lapangan. Bla… bla… bla….”

Dakwah kampus. Serius deh, anak kuper ini cuma bisa melongo menyimak pembicaraan itu. Bagiku, pembicaraan itu ibarat ndengerin orang bicara bahasa Korea, bahasa India, atau bahkan bahasa Tarzan… ra dong blas! Tapi, mau nggak mau, pembicaraan itu menjadi –mungkin– makanan sehari-hari di dunia dakwah kampus, entah itu di kajian, forum liqo, maupun rapat.

Awalnya sih aku suka pasang tampang sok ngerti aja. Jaim gitu. Tapi lama-lama risih juga. Gatel juga kan jadi orang bego sendiri.

“Eh sebenernya tadi tuh rapatnya ngebahas apa sih?” bisikku pada peserta lainnya seusai rapat. Sementara yang ditanya hanya bisa bengong memandangku.

---

Nggak jarang pula gendang telinga ini dijejali paksa istilah-istilah dewa alias bahasa langit dalam bahasa Arab. Suatu ketika aku menjadi peserta dalam sebuah kajian, diajakin temen sih katanya biar makin pinter.

“Wah, ternyata pengisi materi kajian kali ini tu Pak Yoyok,” celetuk seorang akhwat, sesaat sebelum orang yang dimaksud maju ke depan.

“Oh ya?” responku.

“Iya, beneran!”

Aku manggut-manggut.

“Eh, tapi… ngomong-ngomong Pak Yoyok tuh siapa sih?” tanyaku kemudian.

Gubrak… masa sih kamu nggak tau? Beliau itu salah seorang sesepuh dakwah kampus kita yang cukup getol dan terkenal loh! Mantan ketua BEM fakultas sebelah.”

“Oh…”

Denger namanya aja belum pernah. Jadi, salah siapa? Salah guweehh?? Gumamku dalam hati. Sok-sokan.

Aku pun khusyuk menyimak materi yang disampaikan oleh sang pembicara. Bukan, bukan khusyuk karena menghayati setiap kata demi kata yang terucap. Namun sebaliknya, aku terlalu khusyuk menyetting otak dengan susah payah untuk menyamai frekuensi beliau.

“Perkaya diri kita dengan kafaah keislaman,” pesan Pak Yoyok menutup materi. “Jagalah amalan untuk tetap istimror. Ciptakan bi’ah yang kondusif bagi dakwah.”

Kafaah[1]? Istimror[2]? Bi’ah[3]?

Glek, apapula itu?

Boro-boro bahasa Arab, bahasa Indonesia aja kadang nggak kupahami maksudnya. Dulu pernah sih belajar bahasa Arab, tapi itu waktu masih SD. Paling-paling cuma tahunya haadzaa kitaabun[4], haadzihii tilmiidzah[5], masmuk[6], min aina anta[7], dan lain-lain. Terus pas SMA, berhubung gabung di Rohis (Kerohanian Islam), aku jadi tahu sedikit-sedikit bahasa Arab juga. Tapi kan cuma istilah simpel kayak akhi, ukhti, syukron, afwan…. Udah gitu doang.

---

Minder nggak sih ngerasa jadi orang paling kuper dan bodoh? Yup. Frustasi? Lumayan. Tapi awalnya sih aku nggak terlalu ambil pusing. Kupikir mereka begitu karena mereka adalah aktivis dakwah kampus. Kalau anak aktivis dakwah sekolah pasti beda tuh, gak bakal ada bahasan dewa kayak begitu. Nggak bakal jauh beda sama aku, setidaknya ada kawan senasib lah. Pikirku sok tahu. Rada songong juga sih, tapi pada kenyataan pas dulu masih beramanah di dakwah sekolah, nggak ada tuh yang namanya gagal nyamain frekuensi.

So, santai aja... batinku makin songong.

Tapi....

Ternyata aku salah besar. Terpaksa aku menemui kenyataan bahwa teman-teman aktivis dakwah sekolah pun nggak kalah hebat. Baik itu dari segi materi pembicaraan, bahasa yang digunakan, terlebih lagi soal tsaqofah (wawasan keagamaan). Shock. Aku udah ketinggalan jauh. Aku semakin ngerasa nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka semua. Dan ini membuatku semakin nggak nyaman.

Sepertinya ini bukan ranah yang cocok untukku. I felt that it’s a kind of annoyance!

Puncaknya, aku sengaja menghindari pembicaraan dan pertemuan dengan teman-teman, bahkan dengan mereka yang satu jurusan denganku. Ya, aku lebih suka diam memendam masalahku sendiri daripada harus repot-repot menceritakannya pada orang lain. Biar ini menjadi rahasia hati antara Allah dan aku. Itu lebih nyaman bagiku.

Dan...

Bye... bye....

Aku pun menghilang dari peredaran. Hilang, bagaikan ditelan bumi.

                                                                            ---

“Gimana kabarnya, Dek? Udah nyaman dengan amanah di kampus?” sapa Mbak Mur, salah seorang senior di dakwah kampus.

Setelah kucing-kucingan selama berbulan-bulan lamanya, siang itu ia pun berhasil menyergapku untuk sekedar ngobrol. Si tikus pun terpaksa harus tunduk pada si kucing, tak berdaya melepaskan diri dari cengkeramannya. Apa siih?

By the way, mbak lihat kayaknya kamu lagi ada masalah nih? Ada apa, nggak kerasan po?”

“Eh, si Mbak, kenapa tiba-tiba nanyain itu?” ujarku salah tingkah. Gelagapan. Nggak nyaman.

“Kelihatan tuh dari wajahmu….”

“Ah, si Mbak nih, mukaku emang dari dulu udah begini…” sahutku menghindar.

Heran deh, apa emang tampangku kelihatan bermasalah ya? Jadi ingat beberapa hari lalu, sampai-sampai teman akhwatku kirim SMS. Belum lagi ada teman ikhwan yang ikutan nimbrung. Duh, udah kayak terdakwa aja sih… coba lihat deh SMS mereka.

From : Melati
18 Oktober 2009 18:33
Na, anti punya masalah ya? Kadang proses itu butuh waktu untuk memahaminya…. Jalani aja, nggak usah dibikin pusing. Dan lagi, jangan dibuat mikir sendiri.... Banyak diskusi aja ya, Na? Emang ke depan nanti ada banyak amanah yang mesti diselesaikan, sambil gitu bangun kepahaman kita. Oke? Keep hamasah!

From : Melati
22 Oktober 2009 20:40
Na, anti sebenarnya ada masalah apa? Ngomong aja sama kita-kita, curhat aja sama Melati. Kita kan saudara toh? Melati khawatir aja masalah "kecil" ini akan jadi benalu bahkan bom yang mungkin akan membuat siapa aja terpental jauh dari rel kereta dakwah ini.... Kalau ada masalah tolong jangan dipendam, Na. Afwan.

From : Toni
23 Oktober 2009 19:30
Ukhti, gimana kabarnya? Anti ingat pesan saya dulu kan? “Kita bukanlah yang terbaik, tetapi kita adalah orang-orang yang berusaha menjadi lebih baik, bagi dirinya sendiri dan orang lain.” Semangat!

Oke, kembali ke percakapanku dengan Mbak Mur.

Jadi, entah gimana ceritanya, pada akhirnya Mbak Mur berhasil merayuku untuk buka mulut. Padahal sebelumnya aku sempat bersikukuh untuk tetap bungkam walau digoda dengan traktiran sekalipun. Eh?

“Aku ngerasa kurang nyaman di dakwah kampus.” Sebuah pengakuan.

“Kenapa? Nggak suka sama teman-teman dakwah kampus?”

“Eh, ya nggak gitulah, Mbak….”

“Lalu?”

Aku terdiam. Menerawang, mencoba bertanya pada hati mengenai alasan.

“Ealah, ditanyain malah bengong....

Uh... eh... iya Mbak....

Aku meringis.

“Hm, Na pikir… seringkali saat rapat ataupun koordinasi, teman-teman begitu idealis dengan mimpi dan angan yang melambung tinggi…” jawabku akhirnya.

Aku menelan ludah, lalu kembali melanjutkan.

“Aku sering nggak paham dengan apa yang dibicarakan oleh mereka. Pembicaraan itu terlalu berat bagiku. Belum lagi mereka selalu pake bahasa-bahasa Indonesia tingkat tinggi dan bahasa Arab yang bikin pusing tujuh keliling. Padahal aku nggak doyan deh bahasa-bahasa begitu, nih otak nggak bisa kompromi, Mbak. Bakalan ngehang. Serius.”

“Bahkan terkadang aku berpikir mereka menjadi terlalu idealis dan meribetkan hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.”

Kata-kata meluncur tanpa jeda dari mulutku. Mulus. Selancar jalan tol (padahal jalan tol di jakarta macet kan, ya?) Maklum, kalau udah terlanjur curhat... susah deh diberhentiin!

“Ada lagi, Dek?” dengan gayanya yang santai Mbak Mur kembali menanyaiku.

Aku terdiam.

Haruskah kukatakan semuanya?

Kucoba memutar otak.

“Sebenarnya ada alasan lain, Mbak. Aku minder dengan mereka,” keluhku. “Kok kayaknya mereka tuh sempurna banget gitu. Ibadahnya keren, semangatnya oke, tsaqofah-nya pun luar biasa. Sedangkan aku?”

Ya, kalau masalahnya cuma kendala bahasa tingkat dewa yang digunakan oleh kebanyakan dari mereka, mungkin tidak akan membuatku seminder ini. Tapi, kesempurnaan merekalah yang membuatku frustasi. Mereka terlalu saleh dan sempurna di mataku.

Aku mendesah. Sementara Mbak Mur hanya memandangku dengan sedikit terkekeh.

“Kamu nggak perlu maksain diri untuk berpikir seperti mereka. Be yourself aja. Allah nggak menilai seberapa tinggi idealisme kita, tapi dari seberapa hebat amalan kita. Selain itu, kesimpelan cara berpikirmu mungkin justru menjadi sebuah kekuatan dan kelebihan. Dengan kelebihanmu itu, kamu bisa mengimbangi dan mengingatkan teman-teman untuk tetap memandang realita ketika mereka sudah menjadi terlalu idealis,” komentarnya.

Mbak Mur menepuk-nepuk bahuku.

“Nggak papa Dek, pelan-pelan aja. Ada orang yang belajar dengan cepat, ada juga yang sedikit lambat. Mungkin Dek Na tipe orang yang harus belajar pelan-pelan. Tapi jangan khawatir, itu bukan berarti sebuah kekurangan lho. So, jangan minder. Masih ada kesempatan buat belajar.”

“Iya juga sih, Mbak. Tapi….”

“Udah, nggak usah pakai tapi-tapian.” Kali ini Mbak Mur menabok bahuku agak keras. “Daripada galau terus, mending sekarang langsung action deh!”

Aku mengerutkan dahi. Bau-baunya ada yang nggak beres nih.

“Ayo ikut Mbak ke kajian! Oke?” ia mengerling nakal.

“Heh?”

“Ayo, buruan….”

“Kajian apa, Mbak?”

“Kajian keislaman lah!”

“Sekarang, Mbak?”

“Ya iyalah, masa tahun depan?”

“Tapi… tapi….”

Tanpa babibu, Mbak Mur mengeret paksa lenganku.

Eehhh… aduh, Mbak sabar dong…” aku berusaha menyeimbangkan tubuhku yang terseok-seok.

“Yuukk... berangkaaaaatt!!!”


Meidwinna Saptoadi
Pertengahan Ramadhan 1433 H
(Direvisi pada pertengahan Ramadhan 1434 H)
Kisah ini hanya fiktif belaka yang terinspirasi oleh kisah nyata dengan penambahan di sana sini....





Footnote:
[1] Kompetensi
[2] Kontinyu, konsisten
[3] Lingkungan
[4] Itu buku.
[5] Ini murid (perempuan).
[6] Siapa namamu?
[7] Dari mana asalmu?

Sunday, July 14, 2013

"Katakan Cinta" Edisi Juli with FLP Jogja

Iman bagi ibadah ibarat lidah bagi makanan. #KCJuliFLPJogja

Faktor ruhiyah mempengaruhi produktivitas kita. #KCJuliFLPJogja

Modal utama seorang penulis adalah KEPEKAAN dalam menanggapi setiap peristiwa dengan aksi positif. #KCJuliFLPJogja

Ubahlah kekecewaan menjadi energi positif. #KCJuliFLPJogja

Ada empat tipe orang yang menanggapi peristiwa.
Tipe pertama: tipe orang yang suka mengutuki keadaan.
Tipe kedua: tipe orang yang selalu berpikir dari sisi positif.
Tipe ketiga: tipe orang yang membiarkan semuanya mengalir begitu saja, alias "penikmat takdir".
Tipe keempat: tipe orang yang suka mengeluh, curhat ini itu, curhat sana sini....
So, tipe yang manakah kita?
#KCJuliFLPJogja

Apabila kamu ditimpa sesuatu, katakanlah: "Entah ini berkah atau musibah, tugas saya hanya berprasangka baik pada Allah..." #KCJuliFLPJogja

Ketika Rasulullah saw didzolimi, yang keluar dari mulut beliau adalah DOA... sedangkan yang seringkali keluar dari mulut kita tak lain hanyalah umpatan... #KCJuliFLPJogja

Tulisan yang islami adalah tulisan yang memuat nilai-nilai kebaikan dan mampu memunculkan energi positif bagi sekitar. #KCJuliFLPJogja



Jogja, 14 Juli 2013
"Katakan Cinta" Edisi Juli with FLP Jogja
@Foodcourt UNY

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

(Puji syukur kehadirat Allah yang masih memberikan nikmat iman dan Islam pada diri ini..)

Selamat datang di blogku yang mungkin hanya berisi secuil pemikiran dan ungkapan isi hati...

Sungguh, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Adapun kesalahan datangnya murni dari diri ini. Untuk itu mohon masukan, kritik, dan sarannya serta mohon dimaafkan atas segala kesalahan. Terima kasih. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan membawa berkah. Amin

(Mulakanlah dengan membaca Basmalah.... dan akhirilah dengan Hamdalah..)