Thursday, July 24, 2008

Padamnya Listrik vs Padamnya Matahari

Pagi ini, aku sedang asyik duduk di depan computer, membuka FS, mengedit blog, serta chatting alias YM-an dengan seorang teman. Namun ketika sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba layar computer di hadapanku mati, diiringi padamnya lampu dan alat-alat elektronik lain di rumah. “Ah, njegleg!” pikirku.

Aku pun segera menuju teras depan untuk mengecek dan membetulkan tombol sekering. Namun ternyata bukan njegleg (baca: konsleting), tetapi memang ada pemadaman dari pusat. “Ya sudahlah, tidak apa-apa. Aku kerjakan hal yang lain saja,” gumamku.

Beberapa menit kemudian, aku bermain-main di teras belakang rumahku. Menghirup udara segar, sambil menikmati indahnya tanaman-tanaman yang tumbuh segar di dalam potnya. Ditemani oleh ikan-ikan koi berwarna-warni yang berenag lincah di kolam berbentuk angka delapan, menimbulkan suara gemericik menentramkan. Matahari pun turut memeriahkan indahnya suasana pagi itu dengan pancaran sinarnya yang kuning keemasan. Ah matahari… apa jadinya jika matahari tak lagi bersinar? Mungkin aku tak lagi dapat menyaksikan indahnya pemandangan pagi ini. Bunga-bunga tak kan lagi bermekaran. Ikan-ikan pun tak kan lagi berenang lincah ke sana ke mari. Semuanya akan gelap gulita, tiada lagi pemandangan seindah pagi itu. Dan pastinya, tak akan ada lagi kehidupan.

Ah, apalah artinya pemadaman listrik yang saat ini sedang kualami. Toh tanpa listrik yang mengalir pagi ini, aku masih bisa hidup. Aku masih bisa melihat, mendengar, bernapas… Aku pun masih bisa membuat tulisan ini.

Sungguh aku bersyukur padaNya, Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi. Rabb yang telah menciptakan matahari. Sungguh syukurku yang tiada terhingga kupanjatkan padaNya. Apa jadinya jika pagi ini bukan listrik yang padam melainkan matahari? Maha Suci Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.


14 Juli 2008
-saat listrik di rumahku berhenti mengalir,
saat aku masih dapat menikmati indahnya sinar mentari-

Monday, July 14, 2008

Aku dan Sepakbola

Entah sejak kapan aku mulai bersinggungan dengan dunia sepak bola. Sebuah dunia yang membuatku merasa ‘hebat’ sekaligus ‘lemah’, ‘bahagia’ sekaligus ‘sedih’.

Kalau kuingat-ingat kembali, aku sudah menikmati permainan sepak bola semenjak kecil, semenjak SD lebih tepatnya. Awalnya sih hanya permainan yang kuikuti saat pelajaran olahraga. Namun entah mengapa, aku begitu tertarik dengan permainan itu. Permainan yang sangat menyenangkan, meskipun oleh teman-teman priaku aku ‘hanya’ ditempatkan di posisi bek. Posisi yang sangat tidak mengasyikkan kupikir. Sebab dengan posisi itu aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang ke kubu lawan. Menyebalkan!! Namun meskipun posisiku adalah bek, naluri menyerangku tetap saja meledak-ledak. Dan ketika bola menyentuh kakiku yang sudah gatal ingin mencetak gol, aku langsung memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya dan menendang bola keras-keras. Entah gol atau tidak, aku tidak peduli.

Permainan sepak bolaku tidak berhenti begitu saja. Ketika SMP pun, aku tetap meneruskan ‘hobi’ku ini. Namun aku sedikit kecewa karena pelajaran olahraga di sekolah bisa dibilang tidak pernah ada permainan sepak bola. Kenapa aku tidak bergabung saja dengan teman-teman priaku yang hampir selalu bermain sepak bola di sela-sela jam kosong? Oh..tentu saja tidak! Itu tidak mungkin. Nuraniku mengatakan tidak! Aku seorang wanita berjilbab dan aku punya rasa malu.

Karena aku tidak bisa menyalurkan kesenanganku itu di sekolah, maka di rumahlah pelampiasanku. Bermain bersama adik-adik dan sepupuku. Kadang bermain ‘semarangan’, kadang adu penalti. Sangat menyenangkan! Kadang sepulang sekolah, ketika mampir ke rumah nenekku, aku hampir selalu menyempatkan bermain sepak bola bersama mereka, dengan tetap mengenakan rok seragam sekolah. Tak ayal lagi, hampir semua rokku sobek pada belahannya, apalagi saat itu aku mulai mengambil ‘spesialisasi’ sebagai penjaga gawang. Tapi aku tak peduli pada rokku, toh bisa dijahit lagi, yang penting aku senang!! Begitu pikirku.

Hubunganku dengan kehidupan sepak bolaku kian erat pada masa SMP ini. Aku yang semula hanya suka bermain sepak bola, kini mulai tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola di televisi. Hal itu terjadi, tak lain karena hadirnya sebuah pesta sepak bola akbar empat tahunan, Piala Dunia 2002. Saat itu aku menjagokan tim Panser Jerman yang keluar sebagai runner up Piala Dunia 2002, setelah dikalahkan oleh tim Samba Brazil. Tak hanya terpikat dengan permainan mereka, aku pun terpesona oleh aksi menawan salah satu bomber Jerman kelahiran Polandia, Miroslav Klose.

Menginjak masa SMA, kesempatanku bermain sepak bola bersama adik dan sepupuku mulai berkurang. Maklum, kegiatan di SMA ternyata cukup menyita waktu dan menguras energiku. Namun bukan berarti aku berhenti bermain sepak bola. Sepak bola tetap kujalani di sekolah, yaitu saat pelajaran olahraga.

Entah karena alasan apa saat SMA ini, aku beralih dari seorang penjaga gawang menjadi penyerang. Entah karena kemampuanku sebagai penjaga gawang mulai berkurang, ataupun karena minus mataku yang mulai bertambah. Apapun alasannya, aku sangat menikmati posisi baruku ini.

Di SMA, kehidupan sepak bolaku mulai memberikan harapan. Bermain sepak bola yang semula hanya sekedar ajang penyaluran hobi, kini mulai berkembang ke arah professional. Professional? Tidak juga. Namun setidaknya, aku dan dunia sepak bolaku sudah mulai merambah turnamen.

Ya, di masa SMA ini, aku bergabung bersama teman-temanku untuk mengikuti beberapa kompetisi sepak bola yang diadakan oleh suatu instansi. Kompetisi pertama yang kami ikuti adalah invitasi futsal putri antar SMA yang diadakan oleh UAJ, di mana kami berhasil meraih tempat ketiga dari 4 tim yang mengikuti kompetisi tersebut. Saat itu aku masih duduk di kelas X.

Dua tahun kemudian, UAJ kembali mengadakan invitasi futsal putri antar SMA. Namun kali ini kami hanya menempati posisi keempat dari empat tim yang bertanding. Kecewa? Yah, sedih sih.. tapi tidak mengapa. Toh kami menganggapnya hanya sekedar refreshing.

Menginjak dunia perkuliahan, aku yang semula mengira bahwa “karier” sepak bolaku akan berakhir, masih saja meneruskan aktivitas ini. Sungguh tak disangka, di kampus, banyak sekali kutemukan kesempatan. Sebut saja Teknisiade, Pormagama, dan BEM Athlon. Belum lagi kompetisi-kompetisi yang diadakan oleh jurusan-jurusan ataupun universitas. Oke, kalau begitu kuceritakan saja satu per satu.

Kompetisi pertama kali yang kuikuti di dunia kampus diadakan oleh pihak universitas, UKM Sepakbola Universitas. Saat itu, kami se-Teknik bergabung menjadi satu tim futsal putri Teknik untuk melangkahkan kaki ke gelanggang mahasiswa. Namun sayangnya, kami kandas di babak penyisihan.

Kesempatan kedua pun datang. Teknisiade, sebuah turnamen olah raga antar jurusan se-Fakultas Teknik yang diadakan oleh Departemen OASE BEM KMFT, mengundang kami untuk kembali bermain di pertandingan futsal putri. Kali ini aku bergabung bersama teman-teman Arsitektur angkatan 2007. Bermodalkan rasa percaya diri yang “tinggi” (karena kami sama sekali tidak latihan dan asal mencomot pemain), kami mencoba mengharumkan nama jurusan kami dengan berpartisipasi dalam turnamen ini.

Pada pertandingan pertama, kami cukup membuat kubu Arsitektur tersenyum. Namun pada akhirnya, kami harus menelan kekalahan di pertandingan kedua saat menghadapi Teknik Kimia. Kalah? Bukan masalah! Setidaknya kami kalah secara terhormat alias tidak WO.

Beberapa bulan kemudian, BEM KMFT kembali mengadakan kompetisi futsal putri. Kali ini, para “wonderwoman” dari tiap departemen di BEM, MPM, dan BSO se-Teknik, ditantang untuk unjuk kebolehan. Pada kesempatan kali ini, aku maju ke medan kompetisi membela departemenku di BEM, SOSMAS. Dan, hasilnya pun bisa ditebak. Aku dan timku dikalahkan oleh Departemen PO, sang penyelenggara, melalui adu penalty. Bahkan aku sang eksekutor pertama dari tim SOSMAS, gagal menjebol gawang lawan.

Bulan Mei 2008. Rupanya KMTE (Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro) tidak mau kalah. Mereka pun tidak ketinggalan mengadakan kompetisi futsal putri se-universitas. Pesertanya adalah dari tiap jurusan di UGM. Kembali aku memenuhi panggilan manajer sekaligus pemain tim kami, bergabung bersama tim futsal putri Arsitektur.

Sekali lagi, hanya dengan bermodalkan semangat, kami yang lelah fisik dan pikiran karena menyambi menyelesaikan tugas-tugas kuliah, maju ke arena kompetisi tanpa latihan sama sekali.

Pertandingan pertama berjalan cukup mulus. Kami berhasil mengalahkan tim D3 Ekonomi. Menginjak pertandingan kedua, kami yang bermain takut-takut karena lawan kami adalah tim yang terkenal hebat (baca : Teknik Sipil), akhirnya pun berhasil mengalahkan tim lawan melalui adu penalty yang diakhiri dengan perundingan antar kapten kedua tim.

Berhasil mengalahkan tim Teknik Sipil, kami pun melangkah ke babak semifinal dan bertemu kembali dengan Teknik Kimia, tim yang telah mengkandaskan langkah kami di ajang Teknisiade beberapa bulan silam. Dan sekali lagi, sungguh tidak disangka, kami berhasil mengalahkan Teknik Kimia dan melenggang ke babak final. Namun pada akhirnya, perjalanan kami yang cukup mulus terhenti setelah tim Kehutanan mengkandaskan kami di final.

Ah, tak terasa sudah bertahun-tahun aku menjalani hidupku sebagai seorang pemain sepak bola (meskipun hanya sebagai pemain panggilan). Sebuah cita-cita yang pernah terbesit di benak. Ya, dulu aku pernah bercita-cita menjadi atlet futsal putri yang akan mengharumkan Negara Indonesia di kancah internasional. Tak hanya sekadar atlet futsal putri semata, tapi sebagai atlet futsal putri pertama yang mengenakan jilbab. Aku ingin membuktikan bahwa seorang muslimah, seorang wanita berjilbab, pun bisa menjadi seorang bintang di lapangan.

Ah, cita-cita yang sudah lama sekali. Namun rasanya, hal itu terlupakan begitu saja. Aku tak lagi mempunyai keinginan untuk mewujudkan anganku itu. Aku yang sudah menikmati kehidupan sepak bola selama bertahun-tahun ini rupanya sudah cukup puas. Bahkan aku sempat berpikiran untuk benar-benar mundur dari dunia sepak bola karena aku merasakan suatu kebosanan dan kehampaan.

Namun belum sempat aku mendapatkan kemantapan hati untuk meninggalkan sepak bola professional, kembali ada panggilan untuk bermain sepak bola. Kali ini adalah dalam rangka memeriahkan turnamen olah raga se-universitas, Pormagama. Selain karena kebimbangan yang masih menghantui diriku, permintaan dan paksaan dari teman-teman meluluhkan hatiku untuk menyanggupi bermain kembali. Aku, kembali ke lapangan untuk membela Fakultas Teknik tercinta.

Pormagama, Juni 2008. Turnamen futsal diadakan di lapangan Bardosono Godean. Bersama teman-teman Teknik dari berbagai jurusan, aku mengobarkan semangat dalam hati untuk memenangkan turnamen ini. Yah, meskipun kemenangan memang bukan segala-galanya…

Perjalanan tim futsal putri Teknik kali ini rupanya cukup berat. Kekalahan 2-0 dari tim Fakultas Kedokteran Gigi di pertandingan pertama cukup membuat kami shock. Namun kesedihan kami atas kekalahan di pertandingan perdana cukup terobati atas kegemilangan kami di partai kedua mengalahkan tim Sastra, 3-2.

Hari kedua di pertandingan ketiga, kami bertemu dengan Fakultas Kedokteran Umum, dan berhasil menekuk mereka 3-1. Satu gol berhasil kuciptakan dengan tanpa sengaja.

Dua kali kemenangan dan satu kali kekalahan tidak membuat kami cukup senang. Bagaimana tidak? Kemungkinan untuk kami lolos ke babak selanjutnya cukup kecil, mengingat lawan terakhir kami di babak penyisihan ini adalah tim Kehutanan. Ya, untuk lolos ke babak selanjutnya, kami harus bisa mengalahkan tim hebat Kehutanan.

Namun apa daya. Pada pertandingan penentuan ini, kami justru bermain kurang bagus. Atau lawan kami yang terlalu hebat? Yah, pada pertandingan ini, bahkan para pemain lawan berhasil mengunci pergerakan bomber kami sehingga tidak satupun gol tercipta dari kakinya. Sementara tim Kehutanan berhasil membobol gawang kami sebanyak tiga kali. Hingga pada akhirnya kami hanya mampu memperkecil kekalahan menjadi 3-1, dengan satu gol yang berhasil kuciptakan atas assist dari seorang rekanku. Dengan kekalahan itu, kami pun harus rela mengubur mimpi kami untuk meraih trofi juara.

Terlepas dari kekalahan kami di babak penyisihan turnamen Pormagama, aku yang semula ingin hengkang dari kancah sepak bola, kini menemukan kembali semangatku. Setidaknya untuk saat ini, aku masih ingin melnajutkan ‘karier’ku di dunia sepak bola. Bukan tanpa alasan! Yakinlah, aku tidak mau jika aku berada di dunia sepak bola hanya sekedar bersenang-senang. Sepulang dari Pormagama, aku menemukan kembali sebuah tujuan yang ingin kucapai dengan dunia itu, meskipun mungkin hanya dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Namun tak mengapa, pikirku. Dan Pormagama, rupanya memberikan cukup banyak hikmah yang bisa kupetik, sesuatu yang memang sedang kubutuhkan. Sungguh Allah Maha Mengetahui kebutuhan hamba-hambaNya.

Satu tahun sudah perjalanan ‘karier’ sepak bolaku di dunia kampus. Banyak sudah lika-liku yang telah kulalui. Ah, lalu bagaimanakah kisah kehidupan sepak bolaku di tahun mendatang? Di tahun ketika aku tak lagi menjadi ‘adik’ terkecil di kampus Teknik ini? Kita tunggu saja kelanjutannya! Harapku, semoga Allah selalu menjaga dan melindungiku, serta memelihara kesucian hati, pikiran, lisan, serta perbuatan diri yang hina ini. Amin.

Juni – Juli 2008
Masihkah aku akan di sini?

Jadi Mahasiswi di Kampus “Lelaki”

Tidak terasa, sudah setahun lamanya aku menjalani kehidupanku sebagai mahasiswi Fakultas Teknik UGM. Menjadi bagian dari keluarga fakultas terbesar di UGM ini, rasanya sungguh menyenangkan. Entah bagaimana terselip rasa bangga dalam hati.

Namun sejak pertama kali menjejakkan kaki di bumi teknik tercinta, aku merasakan hal yang cukup membuatku pusing dan terperangah. Bagaimana tidak? Kenyataan bahwa fakultas dengan komunitas terbesar ini juga merupakan sarangnya kamu lelaki, sempat membuatku shock dan illfeel. Hampir di setiap penjuru kampus, bisa didapati makhluk bernama “lelaki” itu. Di setiap sudut mata memandang, hampir selalu terlihat ada lelaki yang melintas, duduk, bercengkrama, bersendagurau, dan aktivitas lainnya. Oh my God!

Ah, sudah satu tahun rupanya “cobaan” ini kulalui. Aku pun mulai kebal dan terbiasa dengan pemandangan dan keadaan ini, meskipun terkadang aku masih tetap shock dan ‘meringis’ bila terpaksa harus berada sendirian di tengah-tengah kaum lelaki (menghadiri rapat sebagai satu-satunya peserta wanita sudah merupakan hal yang sangat biasa bagiku, hix..T.T). Oh my God! Keadaan inilah yang menyebabkan aku (terpaksa) memiliki teman pria yang semakin banyak. Mulai dari teman OSPEK (sekitar empat per lima dari jumlah anggota rangerku adalah laki-laki), teman BEM, dan lain-lain. Belum lagi teman yang kenal secara tidak sengaja, misalnya bertemu dalam suatu event, satu kepanitiaan, suatu komunitas, ataupun karena suatu persamaan. Selain karena kondisi yang ‘mengharuskan’ kami saling mengenal, ada banyak cara atau media yang menyebabkan kami saling kenal. Baik itu kenal lewat teman, maupun chatting di dunia maya. Bahkan untuk kasus chatting di dunia maya ini cukup parah. Jiwa sok kenalku pada orang lain semakin membabi buta. Apalagi sekarang ada media pendukung yang cukup efektif semacam Friendster dan YM (Yahoo Messanger). Banyak sekali korban (baca: korban sok kenal sok tauku) yang berjatuhan, hanya karena alasan seperti :
“Oh dia anak Teknik juga…” atau
“Kayaknya dia temennya si A deh?” atau
“Kayaknya ini kakak angkatanku…” atau
“Hm, kalau nggak salah aku pernah tau orang ini?”
…dan berbagai macam alasan lain.

Namun setidaknya aku cukup beruntung karena statusku sebagai mahasiswi jurusan Teknik Arsitektur. Di kampus Arsitektur, perbedaan jumlah wanita dan laki-laki tidak terlalu besar. Atau bisa dikatakan cukup seimbang. Huff, aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika aku adalah mahasiswi jurusan Teknik E*****O ataupun M***N..?? Hehe…

Ah, sudahlah! Aku bosan membicarakan itu terus. Sebenarnya aku kurang suka membahas hal ini, tapi entah mengapa masalah ini sedang berputar-putar di benakku. Daripada memenuhi pikiranku, kutuangkan saja semua dalam tulisan ini. Haha..sekarang sudah lumayan plong, alhamdulillah! ^;^ Nah kalau begitu sampai di sini saja deh! Ok! TEKNIK JAYA!!

“Ya Allah, jagalah hati-pikiran-lisan-perbuatanku dalam sebaik-baik penjagaanMu. Dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat. Amin.”


11 Juli 2008, malam hari
(Di atas tempat tidurku yang nyaman)

Punya Suami Ganteng???

“Aku pingin punya suami yang ganteng…” celetuk seorang teman. Pernyataannya yang sangat tiba-tiba itu membuatku kaget bercampur heran.
“Trus?” tanyaku.
“Hm, aku gak tau kenapa, akhir-akhir ini kok aku jadi kepikiran ya..??”
“Udah kepikiran mau nikah?”
“Bukan itu!! Bukan soal nikah, tapi soal suami yang ganteng itu..”
“Oh.. apa bedanya? Aku jadi bingung…” ucapku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. “Trus..?”
“Huff, gimana nggak kepikiran?? Akhir-akhir ini aku dikelilingi banyak cowok ganteng…”
“Hah..??? Maksud lo??” tanyaku sambil membelalakkan mata.
“Haha, bercanda… maksudku….”
“Maksudmu..??”
“Akhir-akhir ini banyak cowok ganteng muncul dalam hidupku,” jelasnya, “beberapa waktu ini, secara kebetulan aku dapat kenalan baru cowok-cowok ganteng. Ditambah lagi, nggak tau kenapa, aku lagi akrab-akrabnya dengan beberapa teman cowok yang ganteng juga!”
“Ketemu teman baru yang ganteng… ditambah lagi teman lama yang juga nggak kalah cakep???”
“Yup!”
“Kamu naksir mereka?”
“Naksir?? Bercanda aja, say! Aku bilang mereka ganteng, bukan berarti aku naksir kan? Dan akrab dengan mereka pun bukan berarti aku jatuh cinta kan?”
“Iya sih… lantas?” tanyaku semakin bingung.
“Gini lho, say… Terlintas saja dalam pikiranku, betapa beruntung dan bahagianya aku jika kelak salah satu dari mereka menjadi suamiku. Aku gak bakalan bosan memandang kegantengan wajah suamiku! Iya nggak? Hehe..”
“Iya juga sih… secara ganteng gitu! Hoho… ^;^” jawabku mengiyakan.
“Tapi..”
“Tapi?”
“Tapi ada hal yang sangat kusayangkan… Cowok-cowok ganteng itu ternyata tidak sesuai dengan keinginanku.”
“Maksud lo..?? Kurang ganteng gitu?”
“Aduuh.. bukan itu! Oke, aku emang pingin punya suami yang super duper ganteng. Tapi bukan berarti itu syarat yang utama. Karena bagiku yang utama adalah agamanya!”
“Ceilee…” godaku.
“Loh? Bener kan? Nggak ada gunanya mereka seganteng Leonardo Di Caprio, Tom Cruise, Toby McGuire, ……”
“Seganteng Miroslav Klose!!” potongku cepat, nyengir.
“Iya.. iya.. dah! Nggak ada gunanya mereka seganteng Miroslav Klose, kalau shalatnya aja bolong-bolong, ngajinya masih dieja, puasa ogah-ogahan, infaq nggak pernah, hobinya foya-foya, suka berbohong…. trus mbolosan, nyontekan, ngaretan, misuhan, ghibahan, ngrokokan, b***pan, …..”
“Udah cukup!!” buru-buru kuhentikan pembicaraan dia, “trus?”
“Ya gitu deh! Intinya, ketampanan nggak akan ada artinya kalau agamanya ‘NOL’!!”
“Tul! Setuju!! Hehe…” ucapku seraya mengacungkan kedua jempolku, “Rasulullah pun pernah bersabda bahwa memilih pasangan hidup itu lazimnya karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya atau ketampanannya, dan karena agamanya, maka pilihlah yang baik agamanya. Karena jika tidak, maka binasalah kita.”
“Iya bener… Subhanallah banget deh kalau dapet suami yang memenuhi empat kriteria tadi. Dunia serasa milik berdua… hehe”
“Iya, aku juga mau! Rezeki dari Allah, siapa yang tau? Doain ya?” ucapku malu-malu.
“Sip!”
“Tapi ngomong-ngomong, kalau misalnya kamu dapat suami yang nggak ganteng eh maksudku nggak seganteng yang kamu bayangkan gimana?”
“Hm, ya nggak masalah sih! Kan tadi aku udah bilang kalau yang terpenting bagiku adalah agamanya! Kalau ternyata Allah memberiku suami yang nggak ganteng, ya…..mau gimana lagi? Disyukuri aja! Yang penting hatinya ganteng bo’….”
“Muka preman, hati beriman… mantab!!”
“Haha, kamu ini ada-ada aja!”
“Ya udah, kalau gitu kita sama-sama berdoa deh! Semoga Allah memberikan jodoh yang terbaik untuk kita…..”
“Amin.. dan ganteng!!”
“Iya.. iya.. “ jawabku sambil tersenyum, “eh tapi inget!”
“Apaan?”
“Jangan harap kita dapat jodoh yang ‘sempurna’ kalau kita sendiri nggak berusaha ‘menyempurnakan’ diri. Iya nggak? Kalau nggak percaya, buka tuh QS. An-Nuur(24):26, ‘Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…’.”
“Sepakat!!”
Akhirnya, kami pun menyudahi pembicaraan kami dengan senyum tersimpul di wajah kami dan seuntai do’a, semoga Allah mendengar permintaan kami.

9 Juli 2008
-saat makhluk itu muncul-

Sunday, July 6, 2008

Ich und Deutsch

Aku bisa bahasa Jerman? Nggak juga. Tapi entah mengapa banyak temanku yang suka berkonsultasi alias meminta bantuanku untuk mentranslate dari dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman ataupun sebaliknya. Dan request yang mereka ajukan pun terkadang suka aneh-aneh. Mana bahasanya belibet lagi! Lha gimana enggak? Bahasa Indonesia terkadang suka dibikin belibet, jadi mana bisa kalo harus ditranslate “plek” ke bahasa Jerman? Duh..

Pernah suatu ketika, ada orang yang yang tak kukenal mengirim SMS padaku. Sebut saja namanya D. ternyata, D adalah kakak salah seorang temanku. Dalam SMSnya, dia meminta tolong padaku untuk mentranslatekan beberapa alias banyak kalimat ke dalam bahasa Jerman. Namun ternyata kalimat-kalimat itu merupakan kalimat yang kurang akrab bagiku. Gimana enggak? Kalimat-kalimat itu merupakan bagian dari Kata Pengantar sebuah skripsi. Duh! Akhirnya , dengan membuka-buka kembali kamus Indonesia-Jerman ibuku, dan meminta bantuan orang tuaku, serta mengandalkan sedikit ‘insting’, aku membantu D menyelesaikan tugasnya.

Pernah pula aku hampir dibuat menangis oleh seorang temanku. Gimana enggak? Salah seorang teman SMAku yang berbeda kelas, malam-malam mengunjungiku untuk memintaku mentranslatekan tugas bahasa Jerman. Padahal saat itu aku sedang mati-matian menyelesaikan tugas maketku. Tapi aku mengalah dan membantu temanku itu, toh nggak lama-lama, pikirku. Namun ternyata, jauh di luar dugaan, temanku begitu betah bertahan di rumah. Padahal waktu sudah menunjukkan sekitar pukul sembilan malam. Aku mulai panik. Namun memang dasarnya aku yang penakut. Aku tidak tega “mengusir” temanku pulang. Menyedihkan…dan akhirnya aku hanya bisa menangis tertahan dalam hati dan berdo’a semoga temanku cepat pulang.

Selang beberapa bulan kemudian, saat aku sudah tidak lagi menyentuh pelajaran bahasa Jerman, adik kelasku mendatangiku yang kebetulan berkunjung ke SMA (udah alumni bo’! ^;^). Dengan rayuan gombalnya sebagai basa-basi, mereka meminta bantuanku untuk membuatkan sebuah drama (baca: percakapan) dalam bahasa Jerman. Eits…mereka ini! “Oke,” kataku. Namun aku mengatakan pada mereka bahwa aku hanya akan sekedar membantu mentranslatekan kalimat-kalimat yang sulit. Selebihnya mereka harus berusaha sendiri. Berikut cuplikan SMS yang mereka kirimkan padaku.
“Mb, qt uda bikin, tp uda mentok nyampe sini, mhn bantuannya.
>Hr ni qt baru masuk skulah
>Uda kenal sama tmn2nya blum?
>Skrg kenalin diri kalian msg2
>Apa cita2 kalian?
Maav ngrepotin. Danke schon.” (16 Juni 2008 10:49)
Setelah proses berpikir yang cukup memusingkan, aku membalas SMS itu. Namun setelah itu mereka kembali menanyakan kalimat lain. Dan aku pun membalas.
“Die Glocke hat gelauten. Jetzt haben wir Pause. Dann gehen wir zum Schulhof.”

Dua hari kemudian, giliran teman SMAku mengirim SMS padaku. SMS yang hingga kini belum kubalas.
“Mw mnta tlg..artinya kalimat ini ap y? Terima lasih
Einigkeit und Recht und Freiheit Füs das deutsche Vaterland
Einigkeit und Recht und Freiheit Sind des Glukkes Unterpfand
Danach laßt uns alle streben
Brüderlich mit Herz und Hand
Bl h im Glanze dieses Gl kkes Bl he, deutsches Vaterland”
Begitulah SMSnya. Ada yang bisa membantuku mengartikannya ke dalam bahasa Indonesia?

Fyuuh..pusing aku! Capek! Masih ada yang mau bertanya padaku? Tak usah sajalah.. Kan sebenernya tuh yang pinter bahasa Jerman itu bukan aku. Tapi orang tuaku..jadi kalo mau tanya aja langsung sama mereka! Hahaha..^;^

Hm, ngomong-ngomong nih..aku jadi teringat sebuah cerita konyol. Cerita saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Entah bagaimana permulaannya, aku dengan PDnya membuka les-lesan privat bahasa Jerman untuk teman-teman sekelasku. Dibilang les juga enggak sih, dibayar aja kagak! Itu kan hanya sekedar iseng-isengannya anak SD! Hehe..dasar Dwinna! ^;^

Senin, 30 Juni 2008
-saat di rumah cuma berempat ajah..-

Aku dan SUNMOR

Hari gini belum pernah ke SUNMOR (baca: Sunday Morning)? Gile lu?? Pertanyaan itu mungkin memang pantas diajukan kepadaku yang sudah belasan tahun tinggal di Jogja. Siapa sih yang nggak tau SUNMOR? Pasar yang rutin hadir setiap Ahad pagi di kawasan kompleks kampus UGM. Pasar yang selalu saja membuat jalanan sekitar macet dan juga selalu meninggalkan banyak sampah yang mengotori kompleks UGM.

Aku yang sama sekali belum pernah menyengajakan diri datang ke SUNMOR, kecuali hanya sekedar numpang lewat -- menerobos di antara kerumunan orang-orang dengan motor NEW SMASH 110cc kesayanganku, terkadang berpikir. Sehebat apa sih SUNMOR sehingga orang berbondong-bondong ke sana? Seperti apa pula wajah SUNMOR sehingga seorang guruku pun mbela-mbelain datang ke SUNMOR? Aku semakin penasaran. Sungguh aku yang sudah menjalani hari-hariku sebagai mahasiswi tingkat satu ini, belum pernah sekalipun ke SUNMOR, kecuali satu kali saat SMA. Itupun karena diajak temanku untuk sarapan. Saat itu kami belum sarapan, padahal kami mau pergi outbond. Sehingga terpaksalah kami mencari bubur ayam di pasar Ahad pagi itu. Namun kami hanya sekedar sarapan, tanpa ¬sightseeing seperti yang dilakukan banyak orang.

Hari yang cerah, Ahad 14 Juni 2008. Pagi itu aku ada acara di daerah Seturan. Namun di tengah-tengah acara, tiba-tiba temanku mengajak pergi. “Ke SUNMOR yuk!” ajak temanku. “Ngapain?” tanyaku heran. “Jalan-jalanlah…!!” jawabnya. SUNMOR? Boleh juga, pikirku. “Oke!”

Dan akhirnya jadilah temanku membawaku kabur dengan mendudukkanku di jok belakang motor maticnya (wduh, aku paling deg-degan kalo diboncengin naik motor matic. Lhaa gimana enggak, kakiku jadi nggantung je…serasa melayang bo!). Sebenarnya kami nggak kabur kok! Lha wong acaranya lagi kosong. Daripada nunggu di sini, lama…nggak ada kerjaan pula. Ya udah aku pun membiarkan saja diriku diculik olehnya.

Sunday Morning. Setelah melewati jalan berliku-liku selokan Mataram, sampailah kami di perempatan Sagan. Kemudian temamku membelokkan motornya ke arah utara, selanjutnya mengarahkan motornya masuk ke halaman kampus D3 Ekonomi. Di situlah kami parkir.

Setelah menitipkan motor di parkiran D3 Ekonomi. Kami segera melangkahkan kaki keluar dari halaman kampus, menuju kerumunan pasar. Saat itu sudah sekitar jam sebelas, saat para pedagang yang menjajakan dagangannya di SUNMOR mulai mengemasi barang-barangnya. Jadi keadaannya tidak terlalu padat seperti jam-jam pagi. Namun biar bagaimanapun juga, pasar itu tetap saja mengacaukan lalu lintas. Mana orang-orang seenak udelnya berjalan lamban nan lenggak-lenggok bak putri solo! Halo mas, mbak..emangnya ini jalan punya nenek moyang situ? Cepetan dikit napa jalannya?? Ini jalan umum, jalannya yang bener dong! Tau aturan!! Lagian kalo jalan tuh jangan di tengah jalan! Ntar ketabrak mobil gimana?

Sementara lupakan dulu soal para pejalan kaki yang tidak tahu aturan itu. Sekarang kembali ke aku dan temanku. Baru beberapa langkah keluar dari halaman D3E, tiba-tiba temanku bertanya, “Kamu mau beli apa?”. Ups! “Nggak”, jawabku nyengir. Mau beli apaan? Boro-boro…maklum, bukan tipe orang yang suka shopping. Lalu kami pun melanjutkan hingga beberapa langkah hingga menemukan barang yang dicari temanku. Selepas mendapat barang yang diinginkan olehnya, kami pun meneruskan beberapa langkah lagi.

Yah, baru beberapa langkah, kembali temanku bertanya, “Kamu mau lanjut apa terus?”. Sekali lagi aku hanya nyengir kuda, “He…”. “Terserah”, jawabku sambil terus melangkah cepat. Beberapa detik kemudian temanku berkata lagi, “Ya udah pulang aja yuk!”. “Ya udah, ayo…” jawabku nyengir.

Begitulah sepenggalan kisahku dengan SUNMOR. Sebuah kisah dimana aku ingin menunjukkan keprihatinanku kepada orang Indonesia yang tak tahu aturan, dan aku sendiri sebagai orang Indonesia malu dibuatnya. Aku pun tak habis pikir, apa sih yang ada di benak mereka? Astaghfirullah...

Harapku untuk Indonesiaku, semoga menjadi lebih baik dari sekarang. Semoga dengan tanganku inilah Indonesia bisa berubah menjadi lebih baik. Semoga di tangan anak-anak bangsalah Indonesia menjadi negara yang berakhlak, beradab, bermoral, dan berpendidikan. Amin


Juni 2008
-sepulang dari Sunmor-

Fenomena UAS

Hingga aku membuat tulisan ini, UAS semester genap sudah berlangsung sekitar satu setengah minggu. Dimana-mana para mahasiswa disibukkan dengan kegiatan yang namanya “belajar”. Bahkan mahasiswa yang termalas sekalipun, setidaknya menjadi lebih rajin daripada hari-hari biasanya. Semuanya sibuk. Sibuk belajar, sibuk merapikan catatan kuliah, hingga sibuk mengkopi catatan milik temannya. Mereka yang dalam kesehariannya adalah ahlus syuro’ (baca: ahli rapat) beralih mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Yang biasanya hobi SMS-an lebih memilih membolak-balik catatan kuliahnya. Bahkan yang biasa kongkow-kongkow pun lebih memilih untuk berdiam diri di rumah atau di kos. Untuk apa? Belajar. Kalaupun tidak, mereka lebih memilih untuk menenangkan diri di rumah.

UAS benar-benar sudah menyita waktu dan perhatian banyak mahasiswa. Hari-hari ini tak lepas dari yang namanya belajar dan mengerjakan tugas. Lantas apa istimewanya? Memang, masa-masa ujian tidaklah terlalu “istimewa”. Aku bisa mengatakan begitu karena memang tidak jauh berbeda dengan hari-hari kuliah biasa. Hanya saja, acara kuliah di kelas diganti dengan mengerjakan soal. Itu saja!!

Kalau boleh jujur, melihat teman-temanku yang kini jadi rajin belajar, aku merasa senang. Namun aku merasa cukup miris melihatnya. Kenapa ini hanya terjadi ketika ujian tiba? Dan kenapa ujian seolah telah merebut segenap perhatian mahasiswa?

Seperti yang kutulis di atas, salah satu hal yang aku sukai dari musim ujian ini adalah ketika melihat para mahasiswa menjadi rajin belajar. Fenomena ini sangat menyenangkan. Coba bayangkan jika seandainya mereka tidak hanya rajin belajar ketika ujian tiba. Mungkin bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk dan terbelakang akan bangkit oleh tangan-tangan para mahasiswa yang gemar menuntut ilmu ini, oleh mereka yang tak lepas dari budaya membaca, oleh mereka yang tak henti-hentinya mengasah otak mereka. Subhanallah… Namun, begitukah kenyataannya?

Terlepas dari sisi positif datangnya musim ujian, ada hal yang membuatku agak kesal. Teman-temanku kini lebih memilih ujian dan tetek bengeknya, daripada melakukan kegiatan lain. Waktu yang biasanya banyak dihabiskan di luar rumah, kini lebih banyak digunakan untuk “staying at home”. Bagus memang. Bahkan aku pun juga seperti itu. Namun fokus ujian bukan berarti “MENINGGALKAN SEGALANYA” kan? Fokus ujian bukan berarti meninggalkan semua amanah kan?

Aku tak tahu apakah hanya aku yang berpikiran seperti itu. Dan apakah mungkin hanya orang malas seperti aku yang berpikiran begitu. Memang benar, jika dibandingkan dengan teman-temanku, aku bisa dibilang cukup malas. Aku tak terlalu menganggap ujian itu istimewa. Hal itu bukan berarti aku tak belajar! Aku tetap belajar, namun belajar secukupnya saja, tidak terlalu ngoyo. Kenapa? Bukannya aku terlalu PD karena sudah menguasai materi ujian. Tidak, sama sekali tidak! Sekali lagi aku tegaskan, ujian bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa bagiku. Namun bukan berarti pula aku menyepelekan ujian. Seperti teman-temanku, di musim ujian pun aku cenderung lebih rajin daripada hari-hari biasanya. Oke, aku belajar! Aku tetap belajar dan mengerjakan tugas, dengan tidak meninggalkan acara “senang-senang”. Tidak masalah kan? Asal tetap dalam porsi secukupnya.

Wallahu ‘alamu bishawab.

Rabu, 11 Juni 2008
Saat teman-teman sibuk belajar

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

(Puji syukur kehadirat Allah yang masih memberikan nikmat iman dan Islam pada diri ini..)

Selamat datang di blogku yang mungkin hanya berisi secuil pemikiran dan ungkapan isi hati...

Sungguh, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Adapun kesalahan datangnya murni dari diri ini. Untuk itu mohon masukan, kritik, dan sarannya serta mohon dimaafkan atas segala kesalahan. Terima kasih. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan membawa berkah. Amin

(Mulakanlah dengan membaca Basmalah.... dan akhirilah dengan Hamdalah..)