Pernahkah
kalian ngerasa jadi orang paling kuper?
Aku
pernah. Nggak kuper-kuper amat sih sebenarnya, tapi seenggaknya ngerasa “cukup”
kuper. Kisah itu terjadi beberapa tahun silam, sekitar permulaan aku bergabung
di dakwah kampus.
---
Awal
bergabung dengan dakwah kampus, kurasakan benar adanya perbedaan level “otak”
yang sangat besar. Gimana enggak? Di sana sini kutemui percakapan high class ala aktivis dakwah kampus
yang benar-benar nggak kumengerti. Aku, yang masih baru di dakwah kampus kala
itu, seolah menjadi anak kuper. Paling bodoh dan serba nggak tahu apa-apa.
“Apa
tujuan dakwah kita?” Sebuah pertanyaan retoris dilontarkan sang pimpinan
mengawali suatu rapat sore hari itu.
Memang apa sih tujuan dakwah?
Tanyaku dalam hati.
“Sudahkah
kita bermimpi akan seperti apakah kultur kampus yang ideal? Sudahkah pula kita
menyusun rencana jangka panjang 10 tahun ke depan?” lanjutnya.
Mimpi sepuluh tahun ke depan? Mimpi
satu tahun ke depan aja aku belum yakin. Yang realistis aja deh....
“Jangan
memandang sebelah mata pada kekuatan mimpi. Seorang pemimpi akan selalu
mempunyai cita-cita yang besar, sedangkan seseorang yang hanya memandang
realita adalah seorang pesimis!”
Jleb! Kata-kata
itu seolah ditujukan kepadaku.
“Untuk
itulah kita di sini, bersama-sama merumuskan sebuah grand design untuk kampus yang islami. Oke, sekarang kita mulai
dengan analisis lapangan. Bla… bla… bla….”
Dakwah
kampus. Serius deh, anak kuper ini cuma bisa melongo menyimak pembicaraan itu.
Bagiku, pembicaraan itu ibarat ndengerin
orang bicara bahasa Korea, bahasa India, atau bahkan bahasa Tarzan… ra dong blas! Tapi, mau nggak mau,
pembicaraan itu menjadi –mungkin– makanan sehari-hari di dunia dakwah kampus,
entah itu di kajian, forum liqo, maupun rapat.
Awalnya
sih aku suka pasang tampang sok ngerti aja. Jaim gitu. Tapi lama-lama risih
juga. Gatel juga kan jadi orang bego sendiri.
“Eh
sebenernya tadi tuh rapatnya ngebahas apa sih?” bisikku pada peserta lainnya seusai
rapat. Sementara yang ditanya hanya bisa bengong memandangku.
---
Nggak
jarang pula gendang telinga ini dijejali paksa istilah-istilah dewa alias
bahasa langit dalam bahasa Arab. Suatu ketika aku menjadi peserta dalam sebuah kajian, diajakin temen sih katanya biar makin pinter.
“Wah,
ternyata pengisi materi kajian kali ini tu Pak Yoyok,” celetuk
seorang akhwat, sesaat sebelum orang yang dimaksud maju ke depan.
“Oh
ya?” responku.
“Iya,
beneran!”
Aku manggut-manggut.
“Eh,
tapi… ngomong-ngomong Pak Yoyok tuh siapa sih?” tanyaku kemudian.
“Gubrak… masa sih
kamu nggak tau? Beliau itu salah seorang sesepuh dakwah kampus kita yang cukup
getol dan terkenal loh! Mantan ketua BEM fakultas sebelah.”
“Oh…”
Denger namanya aja belum pernah. Jadi, salah siapa? Salah guweehh?? Gumamku
dalam hati. Sok-sokan.
Aku
pun khusyuk menyimak materi yang disampaikan oleh sang pembicara. Bukan, bukan khusyuk karena menghayati setiap kata demi kata yang terucap. Namun sebaliknya, aku terlalu khusyuk menyetting otak dengan susah payah untuk
menyamai frekuensi beliau.
“Perkaya
diri kita dengan kafaah keislaman,”
pesan Pak Yoyok menutup materi. “Jagalah amalan untuk tetap istimror. Ciptakan bi’ah
yang kondusif bagi dakwah.”
Glek,
apapula itu?
Boro-boro
bahasa Arab, bahasa Indonesia aja kadang nggak kupahami maksudnya. Dulu pernah
sih belajar bahasa Arab, tapi itu waktu masih SD. Paling-paling cuma tahunya haadzaa kitaabun[4],
haadzihii tilmiidzah[5],
masmuk[6],
min aina anta[7],
dan lain-lain. Terus pas SMA, berhubung gabung di Rohis (Kerohanian Islam), aku
jadi tahu sedikit-sedikit bahasa Arab juga. Tapi kan cuma istilah simpel kayak akhi, ukhti, syukron, afwan…. Udah gitu doang.
---
Minder
nggak sih ngerasa jadi orang paling kuper dan bodoh? Yup. Frustasi? Lumayan.
Tapi awalnya sih aku nggak terlalu ambil pusing. Kupikir mereka begitu karena
mereka adalah aktivis dakwah kampus. Kalau
anak aktivis dakwah sekolah pasti beda tuh, gak bakal ada bahasan dewa kayak begitu. Nggak bakal jauh
beda sama aku, setidaknya ada kawan senasib lah. Pikirku
sok tahu. Rada songong juga sih, tapi pada kenyataan pas dulu masih beramanah
di dakwah sekolah, nggak ada tuh yang namanya gagal nyamain frekuensi.
So, santai aja... batinku makin songong.
Tapi....
Ternyata
aku salah besar. Terpaksa aku menemui kenyataan bahwa teman-teman aktivis
dakwah sekolah pun nggak kalah hebat. Baik itu dari segi materi pembicaraan,
bahasa yang digunakan, terlebih lagi soal tsaqofah
(wawasan keagamaan). Shock. Aku
udah ketinggalan jauh. Aku semakin
ngerasa nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka semua. Dan ini
membuatku semakin nggak nyaman.
Sepertinya ini bukan ranah yang
cocok untukku. I felt that it’s a kind of annoyance!
Puncaknya,
aku sengaja menghindari pembicaraan dan pertemuan dengan teman-teman, bahkan
dengan mereka yang satu jurusan denganku. Ya, aku lebih suka diam memendam
masalahku sendiri daripada harus repot-repot menceritakannya pada orang lain. Biar
ini menjadi rahasia hati antara Allah dan aku. Itu lebih nyaman bagiku.
Dan...
Bye... bye....
Aku
pun menghilang dari peredaran. Hilang, bagaikan ditelan bumi.
---
“Gimana
kabarnya, Dek? Udah nyaman dengan amanah di kampus?” sapa Mbak Mur, salah
seorang senior di dakwah kampus.
Setelah
kucing-kucingan selama berbulan-bulan lamanya, siang itu ia
pun berhasil menyergapku untuk sekedar ngobrol. Si tikus pun terpaksa harus tunduk pada si kucing, tak berdaya melepaskan diri dari cengkeramannya. Apa siih?
“By the way, mbak lihat kayaknya kamu lagi
ada masalah nih? Ada apa, nggak kerasan po?”
“Eh,
si Mbak, kenapa tiba-tiba nanyain itu?” ujarku salah tingkah. Gelagapan. Nggak
nyaman.
“Kelihatan
tuh dari wajahmu….”
“Ah,
si Mbak nih, mukaku emang dari dulu udah begini…” sahutku menghindar.
Heran
deh, apa emang tampangku kelihatan bermasalah ya? Jadi ingat beberapa hari lalu,
sampai-sampai teman akhwatku kirim SMS. Belum lagi ada teman ikhwan yang ikutan
nimbrung. Duh, udah kayak terdakwa aja sih… coba lihat deh SMS mereka.
From
: Melati
18
Oktober 2009 18:33
Na, anti punya masalah ya? Kadang
proses itu butuh waktu untuk memahaminya…. Jalani aja, nggak usah dibikin
pusing. Dan lagi, jangan dibuat mikir sendiri.... Banyak diskusi aja ya, Na?
Emang ke depan nanti ada banyak amanah yang mesti diselesaikan, sambil gitu
bangun kepahaman kita. Oke? Keep hamasah!
From
: Melati
22
Oktober 2009 20:40
Na, anti sebenarnya ada masalah apa?
Ngomong aja sama kita-kita, curhat aja sama Melati. Kita kan saudara toh?
Melati khawatir aja masalah "kecil" ini akan jadi benalu bahkan bom
yang mungkin akan membuat siapa aja terpental jauh dari rel kereta dakwah ini....
Kalau ada masalah tolong jangan dipendam, Na. Afwan.
From
: Toni
23
Oktober 2009 19:30
Ukhti, gimana kabarnya? Anti ingat
pesan saya dulu kan? “Kita bukanlah yang terbaik, tetapi kita adalah
orang-orang yang berusaha menjadi lebih baik, bagi dirinya sendiri dan orang
lain.” Semangat!
Oke,
kembali ke percakapanku dengan Mbak Mur.
Jadi,
entah gimana ceritanya, pada akhirnya Mbak Mur berhasil merayuku untuk buka
mulut. Padahal sebelumnya aku sempat bersikukuh untuk tetap bungkam walau
digoda dengan traktiran sekalipun. Eh?
“Aku
ngerasa kurang nyaman di dakwah kampus.”
Sebuah pengakuan.
“Kenapa?
Nggak suka sama teman-teman dakwah kampus?”
“Eh,
ya nggak gitulah, Mbak….”
“Lalu?”
Aku
terdiam. Menerawang, mencoba bertanya pada hati mengenai alasan.
“Ealah, ditanyain malah bengong....”
“Uh... eh... iya Mbak....”
Aku meringis.
“Hm,
Na pikir… seringkali saat rapat ataupun koordinasi, teman-teman begitu idealis
dengan mimpi dan angan yang melambung tinggi…” jawabku akhirnya.
Aku menelan ludah, lalu kembali melanjutkan.
“Aku
sering nggak paham dengan apa yang dibicarakan oleh mereka. Pembicaraan itu
terlalu berat bagiku. Belum lagi mereka selalu pake bahasa-bahasa Indonesia
tingkat tinggi dan bahasa Arab yang bikin pusing tujuh keliling. Padahal aku
nggak doyan deh bahasa-bahasa begitu, nih otak nggak bisa kompromi, Mbak.
Bakalan ngehang. Serius.”
“Bahkan
terkadang aku berpikir mereka menjadi terlalu idealis dan meribetkan hal-hal
yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.”
Kata-kata meluncur tanpa jeda dari mulutku. Mulus. Selancar jalan tol (padahal jalan tol di jakarta macet kan, ya?) Maklum, kalau udah terlanjur curhat... susah deh diberhentiin!
“Ada
lagi, Dek?” dengan gayanya yang santai Mbak Mur kembali menanyaiku.
Aku
terdiam.
Haruskah kukatakan semuanya?
Kucoba
memutar otak.
“Sebenarnya
ada alasan lain, Mbak. Aku minder dengan mereka,” keluhku. “Kok kayaknya mereka
tuh sempurna banget gitu. Ibadahnya keren, semangatnya oke, tsaqofah-nya pun luar biasa. Sedangkan
aku?”
Ya, kalau masalahnya cuma kendala
bahasa tingkat dewa yang digunakan oleh kebanyakan dari mereka, mungkin tidak
akan membuatku seminder ini. Tapi, kesempurnaan merekalah yang membuatku
frustasi. Mereka terlalu saleh dan sempurna di mataku.
Aku
mendesah. Sementara Mbak Mur hanya memandangku dengan sedikit terkekeh.
“Kamu
nggak perlu maksain diri untuk berpikir seperti mereka. Be yourself aja. Allah nggak menilai seberapa tinggi idealisme
kita, tapi dari seberapa hebat amalan kita. Selain itu, kesimpelan cara
berpikirmu mungkin justru menjadi sebuah kekuatan dan kelebihan. Dengan
kelebihanmu itu, kamu bisa mengimbangi dan mengingatkan teman-teman untuk tetap
memandang realita ketika mereka sudah menjadi terlalu idealis,” komentarnya.
Mbak
Mur menepuk-nepuk bahuku.
“Nggak
papa Dek, pelan-pelan aja. Ada orang yang belajar dengan cepat, ada juga yang sedikit
lambat. Mungkin Dek Na tipe orang yang harus belajar pelan-pelan. Tapi jangan
khawatir, itu bukan berarti sebuah kekurangan lho. So, jangan minder. Masih ada kesempatan buat belajar.”
“Iya
juga sih, Mbak. Tapi….”
“Udah,
nggak usah pakai tapi-tapian.” Kali ini Mbak Mur menabok bahuku agak keras.
“Daripada galau terus, mending sekarang langsung action deh!”
Aku
mengerutkan dahi. Bau-baunya ada yang nggak beres nih.
“Ayo
ikut Mbak ke kajian! Oke?” ia mengerling nakal.
“Heh?”
“Ayo,
buruan….”
“Kajian apa, Mbak?”
“Kajian keislaman lah!”
“Sekarang,
Mbak?”
“Ya
iyalah, masa tahun depan?”
“Tapi…
tapi….”
Tanpa
babibu, Mbak Mur mengeret paksa lenganku.
“Eehhh… aduh,
Mbak sabar dong…”
aku berusaha menyeimbangkan tubuhku yang terseok-seok.
“Yuukk...
berangkaaaaatt!!!”
Meidwinna Saptoadi
Pertengahan Ramadhan 1433 H
(Direvisi pada pertengahan Ramadhan 1434 H)
Kisah ini hanya fiktif belaka yang terinspirasi oleh kisah nyata dengan penambahan di sana sini....
[5] Ini murid (perempuan).