“Assalamu’alaikum Mei, ada uang untuk editing
naskah novel saya kemarin. Meski tidak besar, mohon jangan ditolak.”
What
is this?! Sebuah pesan singkat yang kuterima dari Gerry N, senior di FLP Jogja
cukup membuat kaget dan speechless. Baru kali ini ada yang memberikan “honor”
atas usahaku mengedit atau mungkin lebih tepatnya me-review karya. Apalagi, nggak pernah sekalipun aku mengomersialkan
jasa sebagai editor atau reviewer.
Oh ya, sebelumnya perkenalkan, aku adalah anggota
Forum Lingkar Pena Jogja. Forumnya para penulis, sebut saja begitu. Selama ini
aku menjalani aktivitas edit mengedit hanya sebagai sampingan, di sela-sela
mengasah kemampuan menulisku. Ya, anggap saja sebagai hobi, hobi mengkritik
karya. Pun yang meminta bantuan pengeditan nggak lain hanyalah teman-temanku
sendiri. Beberapa kali mereka meminta tolong untuk sekedar memberi masukan
terhadap karya seperti cerpen, artikel, dan lain-lain.
Namun pengalamanku mengedit calon buku yang
sesungguhnya bermula saat Kun Geia yang juga senior di FLP Jogja, mempercayakan
draf novelnya untuk aku review. Saat
itu bulan April 2012. Aku menyanggupi saja, toh
membantu teman kan nggak ada salahnya, pikirku. Dan, meskipun kurang sempurna, aku
pun berhasil menyelesaikan “misi” yang
diberikan hingga akhirnya terbitlah sebuah novel berjudul “The
Lost Java” karya Kun Geia.
|
Ini nih bukunya, ayo lengkapi koleksimu dengan membeli novel ini! |
Nggak lama setelah sukses membantu Kun Geia dalam
proses penerbitan novel pertamanya, ada sebuah kejadian “lucu”.
Aku dikontak oleh seorang pengurus FLP Jogja untuk memberikan materi dalam
forum rutin anggota baru. Apa materinya? Tentu saja tentang proses editing. Duh, yang bener aja? Seumur-umur
baru kali ini yang namanya ngedit beneran, kok bisa-bisanya disuruh jadi
pemateri. Lagian, aku kan nggak pernah woro-woro kalau pernah jadi editor. Wah
kayaknya ada konspirasi nih! Ups….
Tapi dengan berlagak PeDe-nya kusanggupi
permintaan itu. Bermodalkan sok tahu dan sedikit referensi, jadilah aku menyampaikan materi yang diminta. Alhamdulillah nggak
ada kendala berarti saat hari-H. Semoga aja deh materi yang kusampaikan nggak
menyesatkan! Xixixiii…
Proyek kedua. Sebuah komunitas “ikhwan
- akhwat” yang menamakan dirinya Pejuang07, berencana untuk
membuat buku tentang memoar dakwah kampus. Bulan Juli 2012. Secara tiba-tiba,
aku ditarik untuk meramaikan tim editor. Karena memang agak senggang, kuiyakan
saja permintaan itu. Itung-itung sebagai penyaluran hobi.
Proses penyeleksian dan editing karya dari para penulis Pejuang07 cukup menguras pikiran. Nggak
cuma pikiran sih, tapi juga perasaan. Namun apapun alasannya, amanah ini harus
kujalani dengan sebaik-baiknya. Totalitas, men!
Akhirnya, meski harus berdarah-darah (maaf,
agak lebay), alhamdulillah, proses editing
selesai dalam waktu total kurang lebih lima bulan. Calon buku pun siap naik
cetak. Lalu apakah sekarang buku itu udah terbit? Hm, maaf, sayangnya belum.
Masih ada proses pasca editing yang
harus dilalui. Doakan saja bisa segera terbit agar bisa menambah koleksi bacaan
bermutu Anda! :-)
Beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Oktober
2012, aku kembali menerima request dari
senior di FLP Jogja, KaGe. Sebenarnya saat itu aku masih terlibat dalam proyek
keduaku. Namun karena kurasa dengan menerima tawaran KaGe tak akan mengganggu
amanah di proyek sebelumnya, I accepted
his order. Lagian rugi deh kalau aku menolak tawarannya. You know why? Draf kali ini berjudul “Satu Pena Berjuta
Karya, 7 Formula Menulis Hebat yang Akan Punah”. Udah ketebak kan
bukunya tentang apa? Ya, sebuah buku saku tentang bagaimana menjadi penulis
yang hebat. Lumayan kan, sambil menyelam
minum air. Sambil mengedit, dapet ilmu gratis! Peace, KaGe! XD
Lalu beberapa pekan sebelum tulisan ini
dibuat, sekali lagi, ada permintaan editing dari Gerry N (lagi-lagi senior di FLP Jogja). Kali ini sebuah draf
novel berjudul “Hitam Putih Penantian”. Naskah setebal kurang lebih
379 halaman itu berhasil kuselesaikan dalam waktu bersih sekitar empat hari. Nah dari novel inilah pertama kalinya aku dapat “honor”
mengedit, seperti yang kuceritakan di awal tadi. Sekarang naskahnya udah naik
cetak. Kita tunggu saja!
---
Mungkin ada orang yang berpikir, apa sih
enaknya jadi editor yang kerjaannya cuma di balik layar? Mereka yang mengejar
ketenaran mungkin akan berpikir begitu. Tapi kalau aku boleh bilang, ada cukup
banyak keuntungan yang kurasakan selama menjadi editor amatir. Mau tahu?
1. Mendapatkan
inspirasi atau ide-ide baru dari karya orang lain. Tapi bukan berarti penjiplakan lho….
2. Mengedit
karya orang bisa membangkitkan semangat menulis dan semangat bersaing “nggak
mau kalah”! Yah, sebagai
motivasi lah….
3. Belajar
dari kesalahan penulis lain.
4. Privilege untuk membaca karya orang lain
sebelum diterbitkan, gratis lagi! Lumayan
kan?
5. Sebagai
tambahan. Seorang editor profesional, misalnya yang bekerja di
penerbitan, punya kewenangan untuk menerima atau menolak karya. Keren kan?
Wah memang menyenangkan deh jadi editor. Nggak
sia-sia aku menyukai pelajaran Bahasa Indonesia saat masih sekolah dulu.
Ternyata apa yang kupelajari ada gunanya juga. Tapi, jadi editor harus cukup
kuat lho, kuat di bawah tekanan. Terutama dalam menghadapi konflik-konflik
batin yang muncul. Konflik batin? Ah hanya editor yang tahu. :-P
Ngomong-ngomong
nih, mana karyaku? Kok kerjaannya ngedit mulu? Nah itu dia masalahnya. Sebenernya
malu juga, bagaimana mungkin aku yang belum pernah sekalipun menelurkan karya
ini berhak memberikan kritikan atas karya-karya orang lain? :-( Minta
doanya aja deh ya, semoga segera ada karya atas nama Meina Fathimah, aamiin....
Well,
aku tidak berpikir menjadi editor profesional, meskipun sepertinya cukup keren
dan menyenangkan. Tapi sayangnya ada keterbatasan secara fisik yang menyebabkan
aku harus menghindari pekerjaan itu. Warning
yang bisa jadi cukup fatal jika kulanggar. Memang, apa yang kita sukai belum
tentu baik untuk kita. Nggak masalah sih, toh aku menikmati jadi freelance editor kok. Just enjoy our life and let it flow!
Yogyakarta, 20 Februari
2013
Meina Fathimah
No comments:
Post a Comment