Pagi itu aku sedang duduk serius di depan layar laptop.
Bergumul dengan ribuan alfabet yang menari-nari di antara tulisan yang harus
kuedit. Pekerjaan editor, sebut saja begitu. Sebuah amanah dadakan dari
komunitas dakwah yang kuikuti ini membuatku harus berpusing-pusing dengan
puluhan tulisan yang dikirim ke redaksi. Penat? Wajar saja, tapi apalah artinya
kepenatan menjalankan suatu amanah dakwah jika dibarengi dengan rasa ikhlas dan
cinta? Ceileh….
Tiba-tiba telepon rumah berdering.
“Bu, anaknya
jatuh di sekolah. Anaknya jatuh, Bu…”
Sebuah suara berbalut kepanikan seperti menahan tangis terdengar dari seberang
telepon.
“Siapa, Bu?
Ini dari mana?” balasku pada
wanita yang dari suaranya kutebak berusia mendekati kepala empat.
“Iya, Bu… anak Ibu jatuh di sekolah,
tadi kesenggol temennya. Kondisinya kritis,”
ia tak menjawab pertanyaanku.
“Sebentar,
maksud Ibu siapa yang jatuh? Maaf, Ibu ini siapa?”
Aku mencoba mengontrol diri.
“Anaknya, Bu..
anaknya jatuh! Ini dengan siapanya?”
“Siapa yang
jatuh?” Aku mulai
terbawa suasana, “Ron maksud Ibu?
K*School?”
Entah kenapa hanya nama itu yang terlintas di pikiran. Adik
lelakiku yang bungsu. Entah hanya nama ia yang terpikirkan. Alasan pertama,
mungkin karena ialah adik satu-satunya yang bersekolah di boarding school. Rasa kangen padanya yang menuntunku untuk merujuk
pada namanya. Alasan kedua, dua adikku yang lainnya sudah duduk di bangku SMA.
Jadi agak “lucu” saja kalau ada acara gojek sampai dorong-dorongan dan terjatuh
hingga kritis –meskipun itu
mungkin saja terjadi.
“Iya, Ron… anak Ibu yang sekolah di K*School?” suara paraunya benar-benar
membuatku percaya dengan kebenaran berita itu. “Ini
dengan ibunya Ron?”
“Bukan, saya
kakaknya Ron. Lalu bagaimana keadaan adik saya, Bu?”
“Sudah
pokoknya Mbak sekarang hubungi nomor gurunya, cepet Mbak catet!” Wanita setengah baya yang –bodohnya– kuduga adalah wali murid K*School memberi
instruksi. Telepon ditutup.
“Assalamu’alaikum…” sapa sebuah suara dari seberang telepon. Seorang
wanita.
“Wa’alaikumussalam. Maaf apa benar
ini gurunya Ron? Saya kakaknya.”
Perasaan kacau menuntunku untuk menghubungi nomor telepon guru K*School yang
diberikan oleh wanita penelepon tadi.
“Ooohh… iyaa Mbaakkk… huhuhuhu… adik Mbak tadi jatuh di
sekolah. Kepalanya Mbak…
kepalanya kebentur tembok…”
Aku hanya bisa diam mendengar penuturannya. Menelan ludah.
“Lalu keadaan
adik saya gimana?”
“Sekarang adik
Mbak sudah dibawa ke RSUP dr. Sardjito dan ditangani Dokter Zaenal. Ini saya
kasih nomernya, tolong dicatet.”
Lagi-lagi aku diinstruksikan untuk menghubungi nomer lain.
“Hubungi
dokter itu segera, Mbak. Adik Mbak, huhuhuu…
adik Mbak mengalami pendarahan hebat….”
“Iya Bu,
terima kasih.”
Segera kututup telepon. Kalut. Kupencet kembali tombol-tombol
angka di pesawat telepon.
“Waaannn!!!
Cepet ke sinii!!” sambil
menunggu panggilan tersambung, kuteriaki Wan yang saat itu sedang asyik
menyirami rerumputan di halaman belakang rumah. Pagi itu hanya ada kami berdua
di rumah. Aku dan adik lelakiku yang paling besar.
Ron jatuh.
Tulisku di secarik kertas yang lantas kuperlihatkan pada Wan,
bersamaan dengan terdengarnya sebuah suara dari speaker telepon.
“Wa’alaikumussalam, apa benar ini
dengan Dokter Zaenal? Saya kakaknya Ron….”
“Iya benar.”
“Adik saya
gimana, Dok? Bagaimana keadaannya?”
“Begini ya
Mbak, Mbak tenang dulu…”
Sejenak ia menghela napas. “Oke,
sekali lagi Mbak tolong tenang.”
Iya, Dok. Saya tenang
kok! Gerutuku dalam hati.
“Adik Mbak
masuk UGD, keadaannya kritis. Pendarahan. Benturan keras di kepalanya
menyebabkan saraf konektor di otaknya terputus.”
Sendi-sendiku lemas seketika mendengar penuturannya. Meski aku tak tahu pasti
apa akibat dari terputusnya saraf yang dimaksud, tapi pernyataan itu sudah
cukup membuatku yakin bahwa it’s
a very bad news!
“Terputusnya
saraf penghubung antara otak besar dan otak kecil pada adik menyebabkan suplai
oksigen terputus pula,”
lanjutnya. Tuh kan bener, itu berita
buruk….
“Tapi Mbak
jangan khawatir, alhamdulillah, apotek KF mempunyai alat sementara untuk
dipasang di kepala adik. Nama alatnya adalah OXB. Pihak rumah sakit sudah
menghubungi ke sana. Tapi pihak apotek tidak mau mengeluarkan alat tersebut
tanpa persetujuan keluarga pasien,”
jelasnya dengan kesan tergesa. “Jadi,
tolong Mbak segera hubungi pihak apotek agar mereka mau mengirim alat tersebut
ke rumah sakit.”
081228634632. Kucatat
segera nomor kontak apotek yang diberikan oleh Dokter Zaenal.
“Nanti bilang saja
dari Dokter Zaenal. Jangan lupa OXB! Nama alatnya jangan sampai salah. Segera
hubungi pihak KF sekarang juga, demi adik Mbak…”
katanya pilu.
Astaghfirullah, ya Rabb
kuatkan aku….
Seperti sebelum-sebelumnya, salam sakral terdengar dari
seberang telepon.
“Dengan apotek
KF? Saya kakak dari pasien Ron. Saya diminta oleh Dokter Zaenal dari RSUP dr.
Sardjito untuk menghubungi apotek bla…
bla… bla…”
“Iya Mbak, ini
alatnya sudah kami siapkan. Tapi begini, Mbak…”
Tapi apa, Pak?
“Alat tersebut
harganya sangat mahal. Oleh karena itu kami tidak berani mengeluarkan alat itu
tanpa adanya pembayaran terlebih dahulu. Harganya Rp 9.750.000,00, gimana Mbak?” jelasnya, “tapi harga itu tentunya bukan
apa-apa dibandingkan dengan keselamatan adik, bukan?”
“Berapapun
saya bayar, yang penting adik saya tolong segera ditangani!” Begitu gampangnya aku berkata demikian, tapi duit dari mana?
“Ya sudah, ya
sudah… begini saja,
Mbak. Kalau menunggu transaksi pasti akan lama. Saat ini juga saya akan
meluncur ke rumah sakit, sementara Mbak transfer saja uangnya ke rekening
bendahara KF atas nama Rety.”
Bapak itu menyebutkan nomor rekening BRI dan Bank Mandiri.
Diulang-ulang, agar aku tak salah mencatatnya.
“Ini saya
segera meluncur ke rumah sakit. Mbak segera urus pembayaran. Mbak sekarang di
mana?”
“Saya masih di
rumah, Pak. Saya segera siap-siap ke rumah sakit.”
“Jangan!” potongnya. “Urusan di rumah sakit
belakangan saja. Yang penting pembayaran diurus dulu. Ke rumah sakit tak apa
terlambat, tapi jangan sampai pembayaran terlambat!”
Seenaknya saja ia
bilang begitu.
“Iya Pak, iya!
Segera saya urus.”
Aku beranjak dari pesawat telepon. Kucoba menata kembali hati
yang kacau.
“Wan, nggak
usah kuliah ya? Kita ke rumah sakit, sekarang.”
“Iya,” jawabnya spontan. Kulihat Wan
sudah siap dengan pakaian bepergian. Tampaknya ia sudah bisa membaca atmosfer
kepanikanku.
“Tapi…”
“Kenapa, Na?” Seperti adik-adikku yang lain,
ia biasa memanggil tanpa embel-embel ‘mbak’ di depannya.
“Ini tadi
disuruh transfer duit. Sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Tapi
aku nggak punya uang sebanyak itu. Gimana nih…”
Ah!
“Ah kalo gitu
aku telepon Om Ge aja, siapa tau bisa minta tolong,” ujarku kemudian. Bagaimana pun caranya, aku harus
menyelamatkan nyawa Ron. “Kalau
gitu aku telepon Om Ge, Wan tolong siapin motor.”
Sesaat kemudian, aku sudah berada dalam pembicaraan di
telepon dengan Om. Tapi beliau malah menyarankanku untuk menghubungi Pakde.
Astaghfirullah, kenapa
aku nggak kepikiran? Pakde kan dokter di RSUP dr. Sardjito? Duh, bodohnya aku.
“Oke, Pakde
akan segera cek ke UGD. Tapi uangnya jangan ditransfer dulu, jangan ditransfer!” ujarnya setelah kujelaskan semuanya
melalui telepon.
“Tapi Pakde…”
“Pokoknya
jangan!” Aku pun
menurut saja.
Adikku sudah siap dengan sepeda motornya. Tapi aku masih saja
kepikiran dengan nominal yang diminta. Dapat uang darimana? Bahkan bila uangku
dan Wan yang tersimpan di rekening bank digabungkan, jumlahnya jauh dari cukup.
Bapak sedang keluar negeri, jadi jelas-jelas beliau nggak bisa dihubungi.
Sementara ibu, beliau sedang ada urusan di kota, tapi ponselnya ketinggalan di
rumah. Ya Allah…
Belum lagi meninggalkan rumah, sebuah nomor tak dikenal masuk
ke ponselku.
081228634632. Ah, nomor
apotek itu.
Kini mereka menghubungi nomor ponselku. Tadi memang, sesaat
sebelum menutup pembicaraan, mereka meminta nomorku.
“Sudah
ditransfer, Mbak?”
“Belum, Pak!” ketusku, “ini saya baru mau berangkat!
Nanti saya hubungi lagi!”
Semua persiapan beres. Buku rekening, kartu ATM, dompet, dan
juga mushaf kecil. Aku berencana membaca ayat-ayat suci-Nya sembari menunggui
si Adik di rumah sakit. Tak lupa kutempelkan sebuah memo di pintu rumah,
berharap ibu membacanya saat pulang nanti.
Bu, cepet telepon aku.
Ron masuk UGD RSUP dr. Sardjito. Ponsel Ibu kubawa. Na
Segera aku diboncengi Wan dengan sepeda motornya, melesat ke
rumah sakit.
---
Di sepanjang jalan kucoba menahan diri agar tidak menangis. Aku
hanya bisa memperbanyak zikir pada-Nya. Berdoa, memohon belas kasih. Memohon
agar Ia menyelamatkan nyawa adik bungsuku. Sungguh aku belum siap kehilangan
ia.
Ponselku kembali berdering. Ah nomor Bapak dari apotek itu
lagi. Tak bisakah ia menunggu? Ini sudah kesekian kalinya ia menelepon tapi tak
kugubris.
“Gimana, Mbak?”
“Saya masih di
jalan. Begini saja, Pak. Bapak sudah di rumah sakit kan? Kalau begitu tolong
Bapak temui saja Pakde saya. Namanya Pak Sam, dokter di Sardjito. Masalah
pembayaran nanti dibicarakan saja dengan beliau.”
“Ini bukan
masalah Pakde dokter atau bukan. Yang jadi masalah, alatnya nggak bisa dipasang
kalau uangnya belum ditransfer…
bla… bla…”
Sambungan kuputus. Aku kesal dibuatnya. Namun ia kembali
menelepon.
“Saya masih di
jalan, Pak! Rumah saya jauh!!”
bentakku. Aku tak mau bilang bapak itu kalau aku sengaja tidak ke bank.
Tujuanku hanya satu. Rumah sakit.
“Emangnya
nggak ada ATM di dekat rumah?”
balasnya membentak. Kututup telepon.
Kenapa alatnya belum
juga dipasang? Waktu sudah berlalu setengah jam sejak telepon pertama
mengabarkan kecelakaan itu. Tega benar menelantarkan adikku hanya karena uang
belum ditransfer. Rutukku dalam hati.
---
RSUP dr. Sardjito. Di depan UGD, aku langsung melompat turun
dari motor, sementara Wan mencari tempat parkir.
“Maaf, Pak.
Apa benar adik saya masuk UGD? Saya dihubungi pihak sekolahnya bahwa ia
kecelakaan,” ujarku
cepat-cepat pada petugas di bagian informasi.
“Atas nama
siapa?”
Lantas kusebutkan nama panjang Ron.
“Maaf, Mbak.
Di sini tidak ada pasien dengan nama seperti itu.”
“Tapi Pak…” perasaanku campur aduk antara
bingung dan marah.
“Mbak masuk
saja ke dalam,” katanya
dengan tenang sambil menunjuk pada pintu UGD.
Di dalam ruang UGD, segera kuhampiri bagian resepsionis.
Menanyakan kembali pasien atas nama adikku.
“Tidak ada
pasien atas nama itu di sini…”
ujar petugas.
Aku hanya diam, tak bisa berkata-kata. Bingung. Meski aku
sebenarnya mulai sadar bahwa ini penipuan. Tapi tetap saja, aku belum bisa
percaya sepenuhnya. Melihatku yang kebingungan, seorang perawat laki-laki
datang mendekat sambil membawa sebuah buku di tangannya.
“Mbak tenang
dulu, ya…” katanya. “Begini, di rumah sakit ini
tidak ada yang namanya pembayaran di awal seperti yang Mbak bilang. Jadi coba
Mbak hubungi pihak sekolah dulu. Apakah sudah dihubungi?”
Aku mengangguk.
“Tapi, saya dapat nomornya
sekolah dari penelepon pertama. Dapet nomor dokter dan apotek pun juga dari
penelepon sebelumnya….“ Duh! Aku menepuk dahi, semakin menyadari kecerobohanku.
Perawat itu lantas melirik kertas yang kugenggam di tangan
kanan. Spontan kutunjukkan padanya kertas catatan berisi nama dokter, nama alat
seharga jutaan itu, nama bendahara apotek KF beserta nomor rekening, dan juga
nomor-nomor yang sedari tadi terlibat. Ia hanya mengelus dagunya sambil
mengangguk-angguk.
“Nama Mbak dan
adik siapa?” tanyanya
hendak mencatatkan namaku pada buku yang sedari tadi ia bawa. Tanpa diberi tahu
pun aku sudah bisa menebak kalau itu pasti buku pengaduan. Buku yang berisi
nama-nama pihak yang mengalami penipuan sama sepertiku.
“Selamat pagi,
Dok!” sapa perawat itu pada
seseorang yang tiba-tiba muncul dari dalam ruangan.
“Gimana?” tanya sebuah suara yang
kukenal. Segera kutolehkan kepala. Pakde.
“Nggak ada tuh
yang namanya transfer-transferan di muka, nggak ada… itu pasti penipuan,”
jelas Pakde. “Dari dokter
siapa katanya? Coba ditelepon lagi.”
Tanpa membantah, segera kutelepon bapak yang mengaku dari
apotek KF. Namun aku membuat kesalahan kecil. Aku salah mengambil ponsel.
Ponsel yang tadi kugunakan untuk berkomunikasi dengan apotek bukanlah yang
sekarang aku gunakan, tetapi ponsel yang satu lagi.
“Halo…” sapa suara di seberang yang
entah terasa beda dari suara sebelum-sebelumnya. Nah lho, ketahuan bohongnya. Segera kuserahkan ponselku pada Pakde.
Pakde pun terlibat pembicaraan dengan orang di ujung telepon sana.
“Teleponnya
diputus,” kata Pakde. “Dia cuma nyebutin nama Dokter
Hendra gitu.”
Dokter Hendra? Bukannya
tadi dibilang Dokter Zaenal?
“Nah sekarang
coba gantian hubungi pihak sekolah,”
si Perawat memberi saran.
Aku yang tidak menyimpan kontak pihak sekolah K*School segera
merogoh ponsel ibu yang dari dalam tas. Kutelusuri kontak ponsel untuk mencari
nomor sekolah. Ketemu!
Aku pun menghubungi guru pembina adikku. Begitu tersambung
dengan beliau, lantas aku mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut.
“Wah Mbak, Ron
baik-baik saja. Dari tadi dia di kelas kok, tuh dia duduk di depan sendiri,” penjelasan itu begitu
melegakan.
Menurut penuturan beliau, sudah banyak orang tua murid
K*School yang menjadi korban sama sepertiku. Astaghfirullah, jahat sekali pelakunya.
Huff, Alhamdulillah…
tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tak ada lagi yang perlu diklarifikasi.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pihak rumah sakit dan Pakde, aku segera
beranjak keluar. Hey, ini si Wan kemana
sih kok nggak nongol-nongol dari tadi?
Begitu meninggalkan UGD, aku melihat Wan datang dari arah
kejauhan. Segera kuberlari menghampirinya dengan wajah berseri-seri.
“Ayo pulaang!” kugenggam lengannya kuat-kuat,
menahan rasa gembira bercampur malu. Sementara tanganku yang satunya mengetik
sebuah SMS.
I love youuu… :*
I’m
glad you’re save…
Message sent to Ron….
---
Sesampainya di rumah untung saja ibu belum pulang. Tak bisa kubayangkan
betapa paniknya ibu membaca memo dariku. Aku pun bersyukur Bapak sedang di luar
negeri. Kalau tidak, aku pasti sudah memintanya mentransfer uang itu.
Tak berhenti sampai di situ, aku bersyukur karena uang yang aku ataupun
Wan miliki tidak banyak sehingga kami tidak gegabah mentransfer uang yang
diminta. Dan yang pasti, aku teramat sangat bersyukur karena ini hanyalah
penipuan. Aku tak bisa bayangkan betapa teriris-irisnya hati ini jika ternyata
berita bohong tentang Ron adalah kebenaran.
Allahu akbar!!
Meina Fathimah
Rabu, 26 September 2012
Ketika rasa syukur ini
tak habis terucap…
Pesan
penulis :
Waspadalah bahaya penipuan modus baru! Always be on your guard!
Maaf, hanya satu dari empat nomor yang tercatat. Nomor
lainnya beserta nomor rekening dan juga nama-nama pelaku hilang bersama dengan
kertas memo yang ketinggalan di rumah sakit. Kertasnya lupa untuk kuminta
kembali dari petugas UGD RSUP dr. Sardjito…
T.T
Sebenarnya sejak awal sudah banyak kejanggalan. Mulai dari penelepon
pertama, kenapa bukan gurunya sendiri yang menghubungiku? Lalu nomor apotek
yang menggunakan nomor ponsel, kenapa bukan nomor pesawat telepon? Lalu logat dari
keempat pelaku mempunyai kemiripan, kalau bisa kubilang, semuanya berlogat
orang luar Jawa. Lalu nama dokter yang disebutkan kenapa bisa berbeda? Trus
juga, emangnya apotek jualan alat yak? Emang bener begitu atau akunya yang
nggak tahu? Haha…
Tuh kan, banyak banget kejanggalannya… kejanggalan yang sebenarnya sudah kusadari sejak
awal. Tapi siapa sih yang nggak panik mendengar musibah menimpa keluarganya?
Dasar wanita, kepanikan ternyata mengalahkan akal sehatku. Haha, ya sudahlah,
yang penting semuanya happy ending.
Alhamdulillah… semoga bisa
jadi pelajaran bagi kita semua…