Tadi pagi ba’da
Subuh aku habis ndengerin kajian di MQfm yang disampaikan oleh Aa’ Gym. Bertepatan dengan
momentum Maulid Nabi, tema yang diangkat adalah tentang riwayat serta tentunya
keteladanan dari Nabiyullah Muhammad saw. Siapa sih yang meragukan bahwa beliau
adalah teladan terbaik (uswatun hasanah)
sepanjang zaman? Nah dari kajian tersebut ada beberapa hal menarik yang
kutangkap.
Pertama, dalam kajiannya, Aa’ Gym menyampaikan bahwa sebelum
diangkat menjadi Nabi, Muhammad telah terlebih dahulu mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat. Beliau telah menjadi kesenangan masyarakat akan baiknya budi
pekerti dan kesantunan beliau. Dari situ aku jadi teringat sesuatu, yaitu
antara aktivis dakwah dan keteladanan. Nggak sedikit dari mereka yang menurut
pandanganku keburu bangga duluan dengan titel atau label yang disandangnya
sebagai aktivis dakwah. Takabur, lalu melupakan dasar-dasar tentang akhlak.
Berdakwah sana sini eh tapi lupa untuk
bersikap santun, baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku. Ketawa ngakak
keras-keras (iya sih di hadapan sesama
akhwat atau sesama ikhwan, tapi kan sama aja). Belum lagi konten
pembicaraan yang nggak penting alias gosip dengan berdalih mencari solusi,
padahal niatnya cuma pengen bikin topik bicara asyik-asyikan.
Masalah-masalah ini agaknya sedikit
terabaikan oleh kesibukan sebagai aktivis dakwah. Menganggap ini bukan masalah
yang terlalu penting dibandingkan dengan urusan mendakwahi orang seperti
masalah jilbab, say no to pacaran,
aksi turun ke jalan, politik, kenegaraan, khilafah, dll. Nggak salah memang,
tapi bukan berarti melupakan urusan mendakwahi diri sendiri kan? Inget,
mendakwahi diri sendiri itu nggak cuma masalah ibadah, tapi juga akhlak.
Terkait akhlak, mungkin ada yang protes
begini.
“Lha
ini udah sifatku begini je.”
Eits, bad habbits itu bisa dirubah lho. Umar
bin Khattab yang keras aja bisa berubah menjadi santun dan lembut setelah
berislam. Sifat keras beliau masih ada, hanya saja ditempatkan pada situasi yang
tepat saja.
“Masa
nggak boleh blak-blakan?” Eh, siapa bilang blak-blakan nggak boleh?
Blak-blakan itu malah bagus menurutku, dalam beberapa hal tertentu tapinya, dan
perlu diperhatikan pula adab penyampaiannya.
Aku juga sering denger seorang yang berlabel
aktivis dakwah tapi mendapat cap negatif di mata orang lain karena perilaku
buruknya.
“Aktivis
dakwah kok rakus sih?”
“Ih
itu jilbab gedhe tapi naik motor nggak aturan, udah kebut-kebutan, nyelonong
gitu aja. Membahayakan orang lain banget.”
Kasus ini cukup banyak kurasa. Belum lagi
cibiran-cibiran seperti : aktivis dakwah kok melanggar peraturan lalu lintas, aktivis
dakwah kok jorok, aktivis dakwah kok buang sampah sembarangan, dan lain-lain.
Atau bisa jadi ada yang sampe ekstrem
seperti cerita berikut ini.
“Dek,
tadi temenmu, si Sri dateng ke rumah pas kamu lagi pergi. Eh eh, dia itu
aktivis dakwah ya? Tapi kok nggak tahu sopan santun sih, nggak tahu tata krama
banget. Masa tadi udah ngebelnya lebih dari tiga kali, masih aja ngotot. Kakak
waktu itu lagi sholat, jadi nggak konsen deh. Abis kakak bukain, dia kakak
suruh duduk, soalnya dia bilang mau nunggu kamu pulang gitu. Yaudah kakak
ajakin ngobrol biar dia nggak bosen. Eh tapi lama-lama kakak jadi males, lha
setiap kali kakak nanya sesuatu kok kesannya dijawab sekenanya gitu. Nggak
ramah banget, mana nggak pake senyum sama sekali. Trus lagi, makanan setoples
yang kakak suguhin ludes. Padahal ada banyak lho. Ya nggak papa sih sebenernya,
tapi kok kesannya rakus banget.”
(Cerita ini mungkin terlalu berlebihan,
tapi bisa aja kan terjadi?)
Kedua, Aa’ Gym menyampaikan setidaknya sebagai seorang
pemimpin (aktivis dakwah juga pemimpin
kan?) harus berkiblat juga pada empat sifat yang dimiliki oleh Rasulullah
saw. Sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas).
Sidiq
sih iya, boleh lah. Fathonah? Nggak
sedikit kok aktivis yang punya IPK bagus, Kalaupun IPK-nya sedang, pengetahuan
umum nggak ketinggalan, plus capable
deh. So, nggak masalah deh. Tabligh? Jelaslah nggak diraguin, wong
hobinya ngisi pengajian, mentoring, liqo di sana sini. Tapi kalo amanah? Hm, belum tentu. Berdakwah sana
sini sih, tapi kok omongannya atau janjinya kurang bisa dipegang.
Misalnya pas ditagih kerjaan : “Aduh belum selesai nih, minggu
depan ya?”
Pas minggu depannya ditagih lagi : “Aduh ane pekan kemarin ternyata
banyak kerjaan. Lusa pagi deh.”
Pas lusa siang ditanyain lagi : “Iya udah hampir selesai ntar
malem aja deh ya!” PHP bener dah, obral harapan palsu.
Terkait amanah, ada juga yang nggak bisa
jaga rahasia. Udah kayak ember gitu, bocor sana bocor sini (meskipun ada juga
yang nggak sengaja sih). Belum lagi urusan pinjam meminjam barang, suka
melupakan amanah. Yang pinjem sesuatu tapi nggak balik-balik lah, nggak kotor
lah, yang rusak lah.
Dan masih terkait amanah, yaitu : ke-ONTIME-an.
Masalah disiplin waktu. It really got my
nerve! Ini nih masalah yang bikin irritating
banget, karena ini nggak cuma dilakukan segelintir aktivis dakwah, tapi
sebagian besar yang kutemui ya begitu itu. Setelah datang terlambat dikiranya
cukup dengan bermodalkan “afwan”, meng-excuse diri atas nama ukhuwah, lalu masalah selesai? Tidak!
Taruhlah pas lagi pengajian dia sering ngajarin
jamaah atau binaannya untuk tidak menzalimi orang, eh tapi kok dianya sendiri
sering zalim sama orang? Nggak terhitung deh janjian yang terbengkalai karena
kengaretannya. Bagi dia, masalah ngaret mungkin sepele, tapi bisa jadi tidak
bagi orang lain. Ini bukan hal sepele, it’s
really a very big deal! Ngaret berarti telah merampas waktu orang lain. Di
saat seharusnya orang lain bisa melakukan agenda yang lain, malah harus
menunggu dengan sabar si tukang ngaret yang entah bakalan dateng berapa jam
kemudian, atau bahkan tiba-tiba batal dateng. Heran, apa sih yang sebenarnya orang-orang
hobi ngaret ini pikirkan? Ini bukan perkara sepele bung! Selain emang ini
perbuatan zalim, jelas-jelas ini juga merusak citra aktivis dakwah.
---
Kenapa sih jadi aktivis dakwah harus banyak
tuntunan akhlak? Perlu kita ingat, bukankah para aktivis dakwah itu setidaknya
punya kapasitas lebih dalam berislam dibandingkan orang-orang pada umumnya?
Mereka adalah orang-orang yang secara sadar berusaha berislam secara kaffah dan mencontoh keteladanan nabi.
Dan bukannya akhlak juga bagian dari itu?
Sebagai aktivis dakwah, banyaknya tuntutan
yang kita terima dari orang lain itu memang sudah sewajarnya. Mereka mengkritik
karena berharap aktivis dakwah dapat menjadi teladan bagi mereka. Mereka sayang
sama kita, berharap aktivis dakwah nggak tercoreng citranya. So, harusnya kita berterima kasih donk
dapet kritikan seperti itu. masih banyak yang peduli dengan kita. Adanya kritikan-kritikan
itu akan memacu kita untuk menjadi lebih baik. Maka berbesarhatilah ketika
dikritik, dan berjanjilah pada diri sendiri untuk memperbaikinya. Bukannya
malah masa bodoh atau tutup kuping.
Biar begitu, aktivis dakwah memang hanyalah
manusia biasa. Manusia biasa tempatnya salah dan lupa. Manusia biasa yang masih
dalam tahap belajar. Tapi kapan mau menjadi baik kalau tak ada usaha atau
kemauan untuk berubah baik mulai dari sekarang? Mau sampai kapan ketawa ngakak
nggak keruan? Mau sampai kapan mau dicap sebagai tukang ngaret? Mau sampai
kapan dicap sebagai orang yang nggak amanah? Yuk kita ubah image itu mulai dari sekarang, berbenah diri menjadi lebih baik… J
Yogyakarta, January 24,
2013
Meina Fathimah
~in my self-reflection~