Padahal baru bulan lalu
aku semangat lagi buat ngeblog. Bikin tulisan, trus diposting di blog. Sekarang
udah masuk bulan Februari, atau seminggu setelah tulisan terakhir kuposting di
blog, tapi belum ada lagi satupun tulisan yang berhasil kubuat. Kenapa? Kalo
dulu sih alasanku “absen” ngeblog adalah emang lagi mandek nulis,
mengesampingkannya untuk hal lain yang kuanggap lebih urgen. Nah tapi kalo
sekarang lain alasan. Jadi sebenernya, aku lagi dapet feeling untuk kembali nulis buku harian atau kata orang Jawa bilang
diary. Waw, ada apa nih? Lagi jatuh
cinta sama seseorang? Haha, enggak juga, lagi jatuh cinta sama nulis diary, itu baru bener! Nah efek samping
dari keasyikan menuhin diary, aku
jadi males mau nulis buat blog gitu….
Well, back then I was a little girl who liked writing diary so
much. I loved writing my daily activities and even my feelings as an elementary
school girl. I felt it so exciting and interesting! Beneran deh, diary SD-ku
manteb banget (baca : banyak) sampe
habis beberapa buku gitu. Isinya tentang apa ya? Macem-macem! Hm, tapi kalo aku
nggak salah inget, menurut dugaanku, ya kebanyakan sih isinya tentang cinta-cintaan…
-__- hedeh,
so embarrassing… eh tapi nggak juga dink, paling yang tentang cinta monyet
cuma sebagian kecil, beneran! *alasan*
Menginjak kenaikan dari
kelas 6 SD ke 1 SMP, aku pindahan rumah. Nah, ceritanya nih, buku-buku diary yang selama ini kutulis,
ketinggalan di rumah lama alias rumah nenekku. Buku-buku itu kusimpan rapi di
lemari meja belajarku yang lama. Tapi ternyata, pas kucek balik, meja belajar
itu udah dihibahkan ke entah siapa aku nggak tau. Pokoknya dah raib deh. Hm, yo wis lah nggak papa kupikir. Toh, it’s not a big deal. Kalopun kebaca
orang paling malu dikit, lagian orang yang baca juga belum tentu tau siapa yang
nulis kan? Selain itu, diary punya
bocah ingusan gitu loh, siapa yang mau protes sih? Malahan nih, kalo aku
beruntung, bisa-bisa buku diary-ku
itu malah laku diloakin, trus dibeli orang. Dibaca-baca, lalu berpindah dari
satu orang ke orang yang lain. Akhirnya buku “An elementary school girl’s
diary” by unknown jadi terkenal. Keren nggak tuh? Haha, imajinasi yang
liar, kayak yang sering ada di pilem-pilem tuh…. :-P
Tahun pun berlalu.
Perlahan aku mulai berubah dari bocah menjadi seorang gadis. Masa-masa SMP tentunya
kulengkapi pula dengan aktivitas menulis diary,
tapi sayangya nggak sedahsyat dan selengkap
diary SD-ku. Apalagi setelah aku menginjak bangku SMA, wuih, mengalami kemunduran! Menulis diary hanya kalo sedang mood aja
atau sedang ada cerita yang amazing. Amazing? Nggak juga sih, lebay deh.
Dan… diary SMP dan SMA-ku nampaknya berakhir
mengenaskan pula. Kalo dulu “terbuang”, maka kali ini adalah sengaja kubakar.
Kenapa? Ada beberapa alasan, yang pertama,
isinya kurasa nggak penting bin ecek-ecek bin memalukan. Kedua, aku merasa nggak ada gunanya menyimpan diary, Cuma menuh-menuhin lemari. So, diary lama ya
dimusnahkan saja. Tapi kalo cuma dibuang, ntar berabe kalo ada orang yang baca.
Ini diary anak ABG men, bukan lagi diary bocah ingusan! Makanya, dibakar adalah pilihan yang kurasa
tepat.
Lalu bagaimana diary-ku sebagai anak kuliahan? Entah,
aku malah lupa, apa aku punya diary
semasa kuliah atau nggak. Karena wujudnya sama sekali nggak berbekas di
lemariku. Aku bener-bener lupa, whether those
diaries had been destroyed or else it had never been any before. Bener
nggak kalimat bahasa Inggrisku? Maksudnya, aku lupa apakah diary udah kulenyapkan ataukah memang sama sekali nggak pernah ada.
Oh ya, ada kemungkinan satu lagi dink. Bisa jadi, diary itu pernah ada dan memang masih ada sampe sekarang, hanya
saja terselip entah kemana. Namun menurut analisisku, kemungkinannya cukup
kecil. Kebenarannya kurang bisa dibuktikan, alibinya lemah. Haha, malah kayak
detektif dah! Tapi yang jelas, semenjak kuliah, aku mulai tertarik menuliskan
“perasaan”ku dengan media komputer dan mempostingnya di blogku yang masih baru
kala itu. So, mungkin diary kuliahku
adalah komputer atau laptop.
Cukup deh kata
pengantarnya. Maap sodara-sodara, sepanjang itu tadi baru pengantar doank. Nah,
sekarang baru deh kita masuk ke inti alias bagian pembahasannya. Dalam tulisan
kali ini, aku bukan bermaksud untuk cerita tentang sejarah penulisan diary-ku. Tapi, aku ingin berbagi
tentang pemikiran baruku terhadap sesuatu yang sebelumnya kuanggap sepele
bernama “diary” atau buku harian. Berikut
ini sedikit pendapatku tentang diary
yang ternyata punya banyak manfaat.
1.
Kalo memoriku tidak
berbohong, aku sempet vakum menulis diary
selama bertahun-tahun saat kuliah. Namun suatu hari, sesuatu menggugah hati
kecilku untuk kembali menulis diary. Apa sebab? Hm, ada yang tau film “1 Little
of Tears” (1LoT)? Itu lho, film J-drama yang diangkat dari kisah nyata yang
nggak pandang bulu memeras habis air mata penontonnya, bahkan temen-temen
cowokku sekalipun tak luput menjadi korban nangis bombaynya film tersebut. Di
film itu diceritakan bahwa si tokoh mulai menulis diary semenjak divonis menderita sebuah penyakit yang akan
memperpendek usianya (nggak memperpendek
usia juga dink, kan umur manusia udah ditentukan sama Allah). Dalam diary-nya itu, dia menumpahkan segenap
perasaannya, kemarahannya, ketakutannya, penerimaannya, dan lain-lain. Dari diary itulah film ini diangkat.
Aku jadi berpikir.
Andai aku, kamu, atau siapapun mempunyai suatu fase dalam hidup yang “inspiratif”
lalu dituliskan dalam diary, bisa
jadi suatu saat nanti tulisan itu akan menjadi sebuah cerita yang nggak hanya
disimpan sebagai koleksi pribadi, tapi juga bisa disebarluaskan untuk
menginspirasi banyak orang. Medianya bisa berbentuk cerita lisan, novel, atau
bahkan diangkat menjadi sebuah film seperti 1LoT. (Oh ya, buat yang nggak tau itu film apa, silakan cari tau sendiri aja
ya…. )
2.
Diary bisa menjadi alibi. Alibi?
Aduh, kebanyakan nonton film detektif sih. Meskipun kasus ini mungkin cukup
jarang, tapi bisa aja lho terjadi. Dalam sebuah film yang pernah kutonton,
sebuah diary bisa menguatkan alibi
atau sebaliknya mematahkan alibi kita maupun orang lain. Ngerti maksudku kan?
Sebagai barang bukti untuk mencocokkan kebenaran suatu statement gitu. Kukasih contoh deh.
“Terjadi perampokan pada tanggal tiga bulan empat siang di sebuah
toko emas di Palembang. A dituduh sebagai tersangka. Namun, catatan dalam diary
dari milik si B bisa menghapuskan tuduhan tersebut. B adalah teman A saat
berkuliah di Surabaya dulu. Dalam diarynya, B menuliskan bahwa pada siang hari tanggal
tiga bulan empat dia tidak sengaja bertemu dengan A di sebuah rumah makan di Surabaya.
Jadi, si A punya alibi bahwa dia tidak mungkin melakukan aksi kejahatan tersebut.”
3.
Menulis diary bisa meredam emosi. Kalau kita sedang marah, sedih, ataupun
apapun, coba deh tuliskan saja dalam buku harian. Hal itu bisa sedikit banyak
membantu mengendalikan emosi dan berdamai dengan diri, serta membantu kita
untuk menerapkan sikap sabar… J
4.
Menulis diary sebagai ajang self-reflection
atau dialog dengan hati. Orang yang terbiasa berdialog dengan hatinya, ia akan
berpikir dulu dengan hati-hati sebelum bertindak. Ciri-ciri orang yang bijak,
tenang, dan tidak gegabah. Selain itu, self-reflection
juga berarti muhasabah. Yaitu mereview kembali semua perbuatan dan
kejadian yang kita alami sehari itu. Atas semua nikmat-Nya sehari itu,
bersyukurlah! Sebaliknya jika ada keburukan-keburukan atau musibah yang terjadi
maka perbanyaklah istighfar.
5.
Sebagai buku pegangan atau
referensi dalam bertindak. Apabila nanti di masa depan kita dihadapkan pada
suatu peristiwa dimana kita perlu mengambil tindakan, sementara peristiwa
semacam itu pernah terjadi sebelumnya (entah itu terjadi pada kita ataupun orang
lain), kita tinggal membuka diary sebagai
referensi. Kalo hanya mengandalkan ingatan, belum tentu berhasil, ingatan
manusia kan terbatas, so tuliskan!
6.
As reminder. Contoh kasus, kemarin
Senin aku habis konsultasi dengan dosen. Lalu kami janjian lagi ketemuan besok
Sabtu. Unfortunately, aku lupa besok
Sabtu ketemuannya jam berapa. Tapi untungnya agenda kemarin Senin kucatatkan
rapi di dalam diary, termasuk
perencanaan appointment buat besok
Sabtu. Problem is solved!
7.
Sebagai media nostalgia. Mengenang
masa lalu adalah sesuatu yang romantis dan menyenangkan. Ia bisa menjadi
hiburan tersendiri bagi kita. Akan ada saat-saat dimana kita menertawakan
kemarahan, kesedihan, kebahagiaan yang kita tuliskan di dalam diary. Plus, ini bisa jadi bahan cerita
ke anak cucu nantinya.
8.
Secara tidak langsung dapat
mengasah kemampuan menulis. Awalnya aku “bisa nulis” bukan karena ikut
pelatihan de-el-el, tapi karena aku berusaha mengasah dan mengolah rasa meski
hanya menuliskan kisah yang sepele dalam buku harianku.
9.
Mengasah dan mengolah rasa.
Meningkatkan kepekaan dan kelembutan hati. Hm, dengan kata lain, menumbuhkan
sisi melankolis manusia. Melankolis a.k.a mellow itu bukan sesuatu yang buruk
lho, asal ditempatkan dalam waktu dan situasi yang tepat aja!
Nah jadi pada tau kan
manfaat nulis diary. Eh, udahan
segitu doank manfaatnya? Nggak juga sih, terlalu banyak kalo mau ditulis
semuanya. So, silakan ditambahin sendiri-sendiri aja ya, hehe….
---
Well, aku agak nyesel karena
telah melenyapkan sebagian besar buku diary-ku.
Tapi ya sudahlah, nasi telah menjadi bubur dan kertas telah menjadi abu. Yang
penting sekarang adalah ke depannya. Harus rajin-rajin nulis diary nih! Yang namanya diary itu, nggak harus cuma berisi
segala hal-hal yang penting aja kok. Kalopun itu cuma cerita ecek-ecek atau cuma
secuil perasaan, tuliskan saja! Nggak ada salahnya. Biar sekecil apapun suatu peristiwa,
bisa jadi itu bermanfaat di kemudian hari lho!
Oke deh, kucukupkan
dulu aja deh tulisan kali ini. Semoga bermanfaat, dan…
Selamat menulis diary-mu! J
Yogyakarta,
February 7, 2013 11:33
Meina Fathimah
go green less paper mbak... nulis diary nya di blog atau di kompi ajah :)
ReplyDeleteIya sih, tp kebanyakan di depan kompi l=merusak mata.. lagipula, menulis dengan tangan(bukan ngetik) setauku lebih baik cz lebih merangsang kerja otak.. :D
Deletedwinna dr SD udah cinta2an ya :v
ReplyDeletesalah gaul.. #ups
Delete