“Ya Allah, jangan Engkau ambil
nyawaku sebelum aku sempat melunasi utang-utangku.”
Kalau bisa dibilang, itu adalah satu di
antara doa-doa yang cukup populer di pray
list-ku belakangan ini.
Lebay
banget sih doanya? Lebay gimana, yang namanya utang, selamanya tetap utang
kali…
wajib dilunasi!
Kalau
yang berutang udah keburu mati gimana donk? Ya tetep harus dilunasi!
Biasanya sih, kalau ada orang yang mati meninggalkan utang, kerabatnyalah yang
harus melunasi utang si mati. Tentunya pake harta si pengutang lah, bukan harta
si kerabat. Tapi, kalau bisa melunasi utang saat kita masih hidup, kenapa harus
nunggu mati?
Gimana
mau bayar, wong nggak punya duit? Makanya kalau nggak yakin bisa
ngelunasin, nggak usah ngutang segala. Utang kok hobi….
Enak
banget sih situ ngomong begitu, mentang-mentang punya duit. Eh neng, aku
kasih tau ya, sejak keluargaku masih merangkak-rangkak, mengais-ngais rezeki
demi sesuap nasi, kami menghindari yang namanya utang. Bukannya sama sekali
nggak pernah ngutang, kalaupun terpaksa banget baru deh ngutang, dengan syarat
kami yakin bisa melunasinya dalam waktu dekat. Orang yang diutangin pun
liat-liat, nggak sembarang orang, palingan pinjem sama kerabat terdekat aja. Inget,
need versus want. Kadang yang membuat
orang berutang adalah want. Di keluargaku,
excuse untuk berutang baru bisa
diberikan demi need, bukan want. Tahan nafsu! Kalau pingin sesuatu
tapi belum mampu, ya jangan dipaksakan. Kalau emang bener-bener butuh, Allah
akan kasih kok!* (* = syarat dan ketentuan berlaku)
Ya deh,
ya deh. Oke balik ke yang tadi, kalau misalnya yang mati adalah orang yang kita
utangi tanpa belum sempet kita lunasi gimana donk? Wah na’udzubillah,
ngeri banget, jangan sampe kejadian gitu bos. Kayaknya bakalan ditagih terus
deh sampe mati, sampe kiamat. Ditagih di akhirat mau bayar pake apa? Berabe bos,
makanya jangan suka ngutang deh. Kalaupun terpaksa ngutang ya buru-buru aja dah
dilunasi. Tapi, lain cerita lho kalau ternyata sebelum berpindah ke alam lain,
si orang yang diutangi sudah mengikhlaskan.
Oiya aku jadi inget kisah horor bin tragis
tentang seorang pesepak bola asing yang bermain di salah satu klub di Indonesia,
sebut saja namanya Sam. Di sini, ia terpaksa hidup susah dan pas-pasan
gara-gara belum sepeser pun gajinya dibayar oleh klub. Suatu saat ia jatuh
sakit, namun ia tak mampu untuk sekedar berobat karena tidak adanya uang,
hingga akhirnya ia pun meninggal dunia disebabkan oleh sakitnya yang kian parah.
Tapi tragisnya, saat sakitnya dan bahkan hingga ia menghembuskan napas
terakhir, klub tidak juga melunasi utangnya. Kebangetan nggak tuh?
Ehm, utang
itu apa sih sebenernya? Aku nggak akan jawab secara definitif karena ini
bukan pelajaran bahasa Indonesia, bukan juga pelajaran agama yang menjelaskan
tentang utang piutang. So, jawaban menurut pandanganku sendiri :
Utang adalah segala sesuatu yang
kita pinjem, dipinjemin, atau dititipin sama orang lain, baik itu berupa uang,
barang, maupun jasa.
---
Sejak dulu aku punya kebiasaan untuk membuat
daftar utang-utangku. Buku pinjeman, ngutang uang pulsa, seragam dipinjemin, dititipin
salam, dan lain-lain. Bahkan nggak jarang aku dititipin barang atau uang milik
bersama, alias milik komunitas. Parah deh,
saya bukan tempat penampungan…
hiks…. Tapi nih, meskipun rajin
me-list utang-utang, tetep aja aku
khawatir kalau-kalau ada utang yang nggak kecatet dan terlupakan. Duh, jangan
sampe deh…. :-(
Masalah utang piutang ini belakangan cukup
mengganggu pikiranku. Aku udah capek berutang. Kalau utang belum terbayar
rasanya nggak tenang. Pengen tuh yang namanya cepet-cepet melunasi semua utang.
Rasanya menderita tauk! Tapi ternyata, melunasi utang nggak semudah
kelihatannya. Ya, iyalah siapa bilang
gampang? Susahnya membayar utang ternyata nggak hanya terletak pada si
pengutang. Fenomena yang kujumpai, terkadang orang yang diutangi malah “tersangka”
yang mempersulit pelunasan utang. Kok
bisa?
Fakta
1 : Menunda-nunda pelunasan utang dengan mengatakan, “Udah besok
aja.”
Memang sih, itu adalah
ekspresi kebaikan dari orang yang diutangi yang mana ia memberikan kelonggaran
untuk mengembalikan lain waktu. Tapi kalau boleh jujur itu tidak memecahkan
masalah. Karena sebenernya itu malah semacam memperpanjang penderitaan
menanggung beban. Kalau mau sekalian aja bilang, “Udah, utangnya dianggap lunas
aja.”
#eh
Fakta 2 : Membatalkan janji secara mendadak
Udah baik-baik janjian,
tiba-tiba membatalkan secara mendadak. Duh please,
pengertian dikit donk, yang namanya bikin janji itu nggak gampang, perlu
nyesuaiin waktu lagi. Kalau nganggur dan gampang ditemui sih masih mending, lha
kalau janjiannya sama orang yang super sibuk? Duh, bakal runyam nih masalah. Lebay dah.
Fakta 3 : Dikontak
berkali-kali susahnya minta ampun
Udah dikontak lewat FB, Twitter,
chatting, SMS, dan lain-lain, eh
nggak ada satupun yang direspon. Kalaupun mbales via SMS, nggak cukup SMS
sekali, butuh SMS tiga kali atau lebih baru dapet balesan. Apa jangan-jangan
minta ditelpon kali ya? Hm, bisa jadi….
Memang sih, orang yang berutang bisa
diibaratkan sebagai terdakwa. So, harus manut sama putusan pengadilan. Tapi
biar gimanapun juga keputusan pengadilan harus tetep fair dan tidak zalim kan? Sama kasusnya dengan utang piutang. Dalam
hal ini, orang yang diutangi tidak berhak menzalimi atau “menginjak-injak”
si pengutang. Harus ada adab-adab yang dijunjung.
Jangan mempersulit orang yang mau
melunasi utang!
Sesungguhnya nggak sedikit barangku yang
dipinjem sama orang lain, bahkan kadang aku suka lupa siapa aja yang pinjem saking
lamanya. Tapi aku nggak sampai hati menagih barang-barangku kembali sebelum aku
sendiri berhasil melunasi utang-utangku. I
believe that I had to pay my debt before asking my things back. Masa iya
aku nyuruh orang bayar utang sementara aku sendiri belum bayar utang?
So, mari cepet-cepet melunasi utang sebelum
semuanya terlambat!!
Yogyakarta,
16 Februari 2013
Meina
Fathimah
No comments:
Post a Comment